Novena di Lingkungan St. Antonius Padua
“Novena St. Yosep tahun ini dilaksanakan di lingkungan masing – masing dan dipimpin oleh prodiakon”. Begitu pengumuman dari paroki.

Umat lingkungan St. Antonius Padua mengikuti Novena Santo Yosep di gereja stasi Sokaraja (110319)
Memang baru tahun ini Novena St. Yosep, Pelindung Paroki yang rutin diadakan tiap tahun menjelang Hari Raya St. Yosep (19 Maret) dilaksanakan tidak di gereja Paroki namun di lingkungan-lingkungan. Tepatnya mulai 11 Maret dan berakhir 19 Maret, kemudian dipuncaki dengan Misa Hari Raya St. Yosep di gereja Paroki.
Lingkungan St. Antonius Padua (AP) yang baru berumur 2 bulan ini, segera bersiap. Rencana dilaksanakan per blok, kalau 2 blok berarti perlu 2 prodiakon. Padahal di AP, hasil dari pemekaran lingkungan St. Maria Sokaraja ini, hanya ada satu prodiakon. Jadi perlu tambahan prodiakon dari sebelah.
Ternyata blok 1 Sokaraja Wetan, tidak sanggup laksanakan sendiri. Akhirnya doa novena st. Yosep di AP di gabung jadi satu, di blok 1. Tempat di pastoran gereja stasi, karena blok 1 kalau kumpul sejak dulu sering di situ. Selain itu karena alasan praktis, di gereja ada pengeras suaranya. Maka saya usul novena di gereja stasi saja agar yang mimpin tidak perlu teriak -teriak. Umat setuju, maka novena lingkungan St. Antonius Padua di gereja stasi.
Demi persatuan dan kesatuan lingkungan baru, umat blok 2 Karen mengalah mau datang ke gereja walaupun jauh. Syukurlah rata-rata umat di Karen mempunyai kendaraan sendiri.
“Lakoni disit”
Karena doa novena jadi satu, saya pertimbangkan perlu tidak minta bantuan prodiakon sebelah.
Saya renungkan kekurangan saya :
1. Bicara gagap dan cadel.
Sejak kecil saya kalau bicara gagap, tidak lancar dan cadel. Kesulitan ucapkan suku kata KKV (Konsonan Konsonan Vokal). Misalnya, kalau umat Sanyos sebut Romo Kris untuk memanggil Romo Kristiadji, saya menyebut Romo Adji untuk beliau, lebih mudah. Kalau dipaksakan Mo Kris, malah jadi Mo Kis, bisa beda makna he…he…he…
Bicara gagap dan cadel ini saya jadikan salah satu alasan untuk menolak tugas jadi prodiakon. Waktu itu Mo Toro hanya tersenyum dan berkata, “Lakoni dhisit” (jalani dulu – red.).
Karena gagap, saya kesulitan saat daraskan doa litani, terutama saat ucapkan Allah Tritunggal, dan itu ada di semua doa litani, sebagai pembuka.
2. Saya kurang pandai menyanyi, padahal harus menyanyikan Himne St. Yosep, yang cukup sulit bagi saya, terutama nada tinggi.
Kemudian saya renungkan kelebihan-kelebihan saya:
1. Saya mempunyai Allah Bapa yang selalu mengasihiku, seperti apapun keadaanku, Bapa selalu setia.
2. Aku mempunyai Allah Putera yang selalu bersamaku dalam setiap langkah hidupku, sama-sama anak Bapa, walaupun aku hanya anak angkat, tapi Yesus akan selalu siap menolongku.
3. Aku mempunyai Allah Roh Kudus yang akan selalu membimbingku dalam pelayanan dan semua pekerjaanku.
4. Aku mempunyai teman-temin prodiakon yang akan siap membantuku jika aku butuh bantuan.
5. Aku tinggal di lingkungan yang umatnya cukup terbuka.
Umat mau memberi kesempatan, ruang dan waktu bagi siapapun yang mau belajar.
Pesan Bapak
Saya ingat obrolan dengan bapak dulu waktu akan jadi prodiakones. Bapak mengatakan, “Yen didhawuhi Romo, matur wae, ‘sendika dhawuh’. Lakoni kanthi bungah, tememen lan andhap asor, katur konjuk ing Gusti. Yen ana rubeda, matur Romo sing paring dhawuh, mengko diparingi pepadhang.”
Artinya:
“Kalau diberi tugas Romo, katakan, ‘ya saya bersedia’. Lakukan dengan sukacita, sepenuh hati dan rendah hati sebagai persembahan kepada Tuhan. Kalau ada kendala, konsultasi dengan Romo yang memberi tugas, nanti akan diberi jalan keluarnya”.
Walaupun sebenarnya waktu itu, dalam hati saya berkata, “Kalau semua umat seperti bapak, yang senang Romo parokinya”.

Bu Tri Rahayu bersama Bapak BJ. Wagiyo (ayah)
Setelah saya hitung-hitung, kelebihanku ternyata lebih banyak dari kekuranganku. Juga karena ingat nasihat bapak, maka saya putuskan tugas pimpin novena St. Yosep saya laksanakan sendiri, “lakoni dhisit”. Dengan pertimbangan “toh, kalau ada kesulitan, teman-temin prodiakon pasti siap membantu he…he…he”
Agar tidak jatuh dalam kesombongan diri, saya persembahkan semuanya kepada Hati Yesus yang Mahakudus,
“Hati Yesus yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hatiku sama seperti hatiMu”. Amin.
Setelah persiapan batin, saya persiapkan keluarga saya. Sebagai pasangan yang berbeda gereja, saya jelaskan kepada suami, bahwa saya akan memimpin doa novena. Saya sampaikan apa itu doa novena, tujuannya, caranya, waktunya, agar tidak “komplain” kalau setiap sore selama 9 hari berturut-turut saya pergi terus dan siapa tahu dia tertarik untuk mengenalnya (ngarep.com he…he….he). Dan saya berjanji, semua keperluan keluarga tidak terabaikan selama saya pelayanan… Dan tercapai: “deal” dengan suami.
Untuk persiapan umat, saya bagikan rekaman lagu Himne St. Yosep ke group WA lingkungan, agar umat dengarkan dan “rengeng-rengeng” (=bernyanyi kecil dengan suara pelan -red.), agar tidak asing sama sekali waktu novena nanti.
Persiapan novena hari pertama, saya latihan himne dan pelajari teks doa.
Sebelum doa novena dimulai, saya jelaskan kepada umat cara dan urut-urutan doa novena St. Yosep. Cara mendoakan mazmur dan kidung. Dan umat memutuskan, yang dinyanyikan lagu pembuka, Himne St. Yosep dan lagu penutup. Mazmur dan kidung didaraskan saja, karena ada 2 pilihan: dinyanyikan atau didaraskan. Yang hadir banyak yang kesepuhan. Dalam hati saya, “Puji Tuhan, karena saya juga belum begitu pandai menyanyikannya…he….he….he.. “
Buku novena waktu dicek ternyata halaman 13 nya tidak ada. Kurang teliti waktu photo copy. Maka, di hari pertama, mazmur 112 yang ada di halaman itu, saya daraskan sendiri.
Pembagian tugas lektor, bergantian, diutamakan yang muda dari yang hadir dan belum pernah jadi lektor. Mereka dilatih dulu cara pegang dan bawa Lectionarium, tata gerak lektor, dan cara membaca kitab suci.
Doa novena pertama dimulai, dinyanyikan lagu pembuka dan seterusnya.
Saat menyanyikan Himne St. Yosep, sebagai alat bantu saya putarkan rekaman lagu himne yang dibagikan bidang liturgi paroki. Jadilah nyanyi bareng diiringi rekaman tersebut, walaupun “kecethit” pas nada tinggi. Maklum, saya biasanya suara alto saat ikut koor. Dengan susah payah dan bersimbah keringat, selesai juga menyanyikan tiga bait Hymne St. Yosep.
Masih terengah-engah, dilanjutkan Mazmur dan Kidung. Untung hanya didaraskan. Karena bergantian dengan umat, jadi ada jeda untuk ambil nafas.
Liturgi Sabda, lumayan ada waktu untuk ambil nafas.
Bait Pengantar Injil dan bacaan Injil lancar …..
Renungan, membaca teks dari Romo (terima kasih Moman yang baik hati…he…he…he…).
Tibalah doa Litani, setelah renungan saya bawa ke suasana hening sejenak ….
Saya ambil nafas dalam-dalam, saya ucapkan kata pelan-pelan (itu cara yang diajarkan kepada saya untuk mengatasi gagap saat bicara)
Saya ajak umat untuk mendaraskan doa litani…
Syukur pada Allah, novena dapat berlangsung 8 hari berturut-turut di lingkungan St. Antonius Padua. Kami menutup novena di hari ke 9 bersama umat se paroki St. Yosep di gereja Paroki.
Demikianlah sharing pengalaman saya sebagai prodiakones yang masih belajar melayani. Semoga Tuhan terus memampukan saya sehingga pelayanan ini dapat menjadi persembahan yang berkenan bagi Tuhan dan membawa berkat bagi umat.
Penulis:

Margaretha Tri Rahayu
Kategori:Kisah Inspiratif, RENUNGAN