Subbagian 2: Yesus mengetahui kompleksitas hidup keluarga dari pengalaman-Nya sendiri
Santo Lukas mengisahkan kepada kita bagaimana dalam usia dua belas tahun, sebagai seorang anak muda Yahudi, Yesus mengambil keputusan yang telah dipertimbangkan dengan baik untuk mempersiapkan diri-Nya bagi tugas perutusan di masa depan, dengan tidak tinggal di Bait Suci Yerusalem di antara para guru hukum, tetapi dengan berbagi kehidupan dalam keluarga-Nya di desa kecil Nasaret (Lukas 2:51-52; Amoris Laetitia, no. 18).
Paus Fransiskus menggarisbawahi kenyataan bahwa “Keluarga Yesus sendiri tidak dipandang sebagai keluarga langka atau berbeda dengan keluarga-keluarga lain. Itu sebabnya orang-orang sukar menerima hikmat Yesus dan berkata: ‘Dari mana diperoleh-Nya semuanya ini? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria?’ (Markus 6:2-3)…. Hal ini menegaskan bahwa mereka adalah keluarga sederhana, dekat dengan semua…. Yesus siap berinteraksi dengan keluarga-keluarga yang lebih luas, dengan sanak kerabat dan teman-teman mereka” (AL, no. 182).
Namun, Sri Paus mendorong kita “untuk memasuki kurun waktu tiga puluh tahun, saat mana Yesus mencari nafkah dengan kerja tangan-Nya, mendaraskan doa-doa dan memercayai tradisi bangsa-Nya dan dididik dalam iman leluhur-Nya” (AL, no. 65). Bahkan, “kegiatan sehari-hari mereka melelahkan dan bahkan menakutkan, seperti ketika mereka harus menderita karena mengalami kekejaman Herodes yang tidak dapat dimengerti” (AL, no. 30). Yesus mengambil pilihan untuk mengalami kehidupan manusiawi sehari-hari dalam untung dan malang.
Maka, walaupun Injil-Injil tidak secara terbuka berbicara tentang hal itu, tahun-tahun ini di Nasaret menyampaikan suatu pesan penting mengenai hidup keluarga. Tahun-tahun ini memperlihatkan kepada kita makna terdalam dari misteri yang “mengubah sejarah dunia”, yakni misteri “Inkarnasi Sang Sabda” (AL, no. 65): ‘Allah-beserta-kita’ bukanlah Allah yang kita jumpai di luar, tetapi di dalam dunia kita yang sering kali kacau. Allah menjumpai kita dan kita menjumpai Allah pertama-tama di dalam kompleksitas kehidupan kita sehari-hari dan di dalam keluarga di mana kita bertumbuh dan hidup.
Sri Paus menulis dalam Ensikliknya “Laudato Si”: “Pada puncak misteri Inkarnasi, Allah bukan datang dari atas tetapi dari dalam, sehingga kita dapat menjumpai-Nya dalam dunia kita sendiri” (Laudato Si, no. 236).
Saat Untuk Refleksi
Paus Fransiskus menyoroti kenyataan bahwa pada masa pelayanan-Nya Yesus sering kali mengunjungi keluarga-keluarga yang ditimpa penyakit atau kesusahan, sedangkan beberapa perumpamaan-Nya juga menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh sadar akan kegembiraan dan kesedihan yang dijumpai oleh keluarga-keluarga biasa.
“Yesus sendiri lahir dalam suatu keluarga sederhana
yang kemudian segera harus mengungsi ke daerah asing.
Dia mengunjungi rumah Petrus, yang mertuanya sedang sakit
(bdk. Markus 1:30-31) dan memberi simpati saat mendengar kematian di rumah Yairus dan Lazarus (bdk. Markus 5:22-24, 35-43; Yohanes 11:1-44).
Dia mendengar ratapan putus asa janda di Naim atas kematian putranya (bdk. Lukas 7:11-15) dan memperhatikan ratapan ayah seorang anak yang sakit epilepsi di kota kecil (bdk. Markus 9:17-27).
Dia pergi ke rumah pemungut cukai seperti Matius dan Zakeus
(bdk. Matius 9:9-13; Lukas 19:1-10), dan berbicara kepada pendosa seperti wanita di rumah Simon orang Farisi (bdk. Lukas 7:36-50).
Yesus mengerti kecemasan dan ketegangan yang dialami oleh para keluarga dan menggambarkannya dengan perumpamaan: mulai dari anak-anak yang meninggalkan rumah untuk mencari petualangan (bdk. Lukas 15:11-32), sampai dengan anak-anak sulit dengan perilaku yang tidak dapat dipahami (Matius 21:28-31) atau para korban kekerasan (Markus 12:1-9).
Dia juga peka dengan hal memalukan akibat kekurangan anggur dalam pesta perkawinan (Yohanes 2:1-10), ketidakhadiran tamu pada pesta (Matius 22:1-10), dan kekhawatiran keluarga miskin karena kehilangan sebuah dirham (Lukas 15:8-10).”
(Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, no. 21)
Kategori:Kursus Spiritualitas Hati Online, RENUNGAN