Pendahuluan
Banyak orang berpikir bahwa iman itu hanya menyangkut kerohanian, dan tidak ada sangkut pautnya dengan hal jasmani. Namun sesungguhnya tidak demikian, karena manusia diciptakan Allah terdiri dari jiwa dan tubuh. Jadi apa yang kita imani selayaknya memancar keluar melalui sikap tubuh, dan sebaliknya apa yang terlihat dari luar mencerminkan apa yang kita imani di dalam hati. Hal ini yang mendasari bahwa segala yang menyangkut manusia selalu menyangkut dua hal: tubuh dan jiwa, jasmani dan rohani, dan kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Prinsip kedua adalah kemurahan hati Allah yang mengangkat kita dari ketidakberdayaan kita sebagai manusia, agar kita dapat memahami dan mengingini hal-hal ilahi, karena untuk itulah kita diciptakan dan ke sanalah hidup kita akan berakhir. Rahmat Ilahi ini hanya datang dari Allah, dan kita memperolehnya lewat sakramen -sakramen. Sakramen mengubah kita secara rohani: kita diangkat menjadi ilahi, agar dapat dibentuk oleh Allah menjadi semakin serupa dengan DiriNya.
Prinsip ‘jiwa dan tubuh’, ‘grace and nature’
Prinsip ‘tubuh dan jiwa’ ini yang mendasari adanya sakramen di dalam Gereja. Gereja yang dijiwai oleh Roh Kristus, juga terdiri dari ‘Tubuh’ yang kelihatan, yaitu umat yang dipimpin oleh para pemimpin Gereja. Selanjutnya, rahmat Tuhan yang dicurahkan di dalam Gereja dapat juga dirasakan secara jasmani di dalam sakramen-sakramen. Karenanya Gereja mempunyai aspek Ilahi dan manusiawi, rohani dan jasmani, yang tak kelihatan dan yang kelihatan, dan semuanya itu dipersatukan di dalam misteri Kristus. Di dalam Kristuslah segala sesuatu diperdamaikan, dipersatukan dan disempurnakan (lih. Kol 1:19-22).
Jadi Allah tidak mungkin merendahkan tubuh, namun menyempurnakan dan memuliakannya untuk dipersatukan dengan jiwa, sebab Ia-lah yang menjadikan keduanya pada awal mula penciptaan dengan sangat baik adanya (Kej 1:31). “Rahmat tidak menghancurkan segala yang bersifat material /lahiriah, melainkan menyempurnakannya (grace does not destroy nature but perfects it),” kata St. Thomas Aquinas (Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, , I, q. 1, a. 8, ad 2 (question 1, article 8, response to the second objection): “Since therefore grace does not destroy nature but perfects it, natural reason should minister to faith as the natural impulse of the will ministers to charity”). Maka walaupun dosa memang telah ‘mencemari’ tubuh, namun tidak menjadikannya sama sekali tidak bernilai, karena kuasa dosa tidak mungkin lebih besar dari kuasa Allah. Allah mencurahkan rahmat-Nya untuk mengembalikan tubuh kepada keadaan asalnya. Karena itu, sudah menjadi kehendak Allah bahwa segala rahmat ilahi dapat dialami dan dirasakan oleh tubuh, supaya oleh rahmat-Nya kita dipulihkan dari akibat dosa, dan tubuh kita ‘diangkat’ sehingga bernilai ilahi. Jadi walaupun rahmat Allah itu pertama-tama bersifat rohani, namun rahmat itu tidak mengabaikan segala yang bersifat lahiriah. Jangan kita lupa, Allah adalah Tuhan atas segala sesuatu dan adalah hak Tuhan untuk menyampaikan rahmatNya melalui perantaraan benda-benda ciptaanNya untuk menyembuhkan, menguduskan dan membentuk kita menjadi tempat kediaman dan Bait Kudus-Nya (1 Kor 3:16) (Lihat Katekismus Gereja Katolik 776.).
Janganlah kita lupa, bahwa karena akibat dosa asal, terdapat jurang yang tak terpisahkan antara Tuhan Pencipta dan manusia yang diciptakanNya. Kita manusia hanya dapat ‘terangkat’ dari jurang melalui jasa Kristus Penyelamat kita. Jasa Kristus itu secara nyata kita peroleh lewat sakramen-sakramen, yang memang disediakan Tuhan untuk mengangkat kita agar dapat mengambil bagian dalam kehidupan Ilahi seperti yang menjadi rencana-Nya sejak semula. Maka jika Tuhan menghendaki agar kita hidup kudus, dan bertumbuh dalam kasih, hal itu bukannya ‘asal perintah’ saja, sebab, Tuhan sendiri menyediakan jalan untuk menuju ke sana. Allah mengetahui bahwa dengan mengandalkan kemampuan sendiri, kita tidak akan dapat menjadi kudus dan memiliki kasih sejati; oleh karena itu, Ia memberikan rahmat-Nya, melalui sakramen-sakramen, sebagai suatu tanda sederhana yang dapat kita rasakan melalui tubuh kita, namun menghasilkan efek luar biasa di dalam jiwa kita. Kita dibentuk oleh Allah untuk menjadi bagian dari DiriNya sendiri. DiberikanNya pada kita kehidupan IlahiNya, supaya kita dapat bertumbuh dalam iman, harapan dan kasih. Oleh rahmat ini kita dapat menjalin persahabatan dengan Tuhan, dan sedikit demi sedikit, kita bertumbuh sebagai gambaran Allah sendiri.
Sakramen
Sakramen berasal dari kata ‘mysterion’ (Yunani), yang dijabarkan dengan kata ‘mysterium’ dan ‘sacramentum’ (Latin). Sacramentum dipakai untuk menjelaskan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut sebagai ‘mysterium‘. Kitab Suci menyampaikan dasar pengertian sakramen sebagai misteri/ ‘mysterium‘ kasih Allah, yang diterjemahkan sebagai “rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad… tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya” (Kol 1: 26, Rom 16:25). Rahasia/ ‘misteri’ keselamatan ini tak lain dan tak bukan adalah Kristus (Kol 2:2; 4:3; Ef 3:3) yang hadir di tengah-tengah kita (Kol 1:27). Katekismus mengutip perkataan St. Leo Agung mengajarkan, “apa yang tampak pada Penebus kita, sudah dialihkan ke dalam misteri-misteri-Nya”/ sakramen-sakramen-Nya (Katekismus Gereja Katolik 1115).
Jadi sakramen-sakramen Gereja merupakan tanda yang kelihatan dari rahasia/ misteri Kristus -yang tak kelihatan- yang bekerja di dalam Gereja-Nya oleh kuasa Roh Kudus. ((Lihat Katekismus Gereja Katolik 774.)) Betapa nyatanya ‘rahasia’ ini diungkapkan di dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama di dalam Ekaristi.
Mengacu pada pengertian ini, maka Gereja sendiri adalah “Sakramen Keselamatan” yang menjadi tanda rahmat Allah dan sarana yang mempersatukan Allah dan manusia (Lihat KGK 775, Lumen Gentium 1.) Sebagaimana Yesus yang mengambil rupa manusia menjadi “Sakramen” dari Allah sendiri, maka Gereja sebagai Tubuh Kristus menjadi “Sakramen” Kristus. Artinya, di dalam Gereja, kuasa ilahi yang membawa kita kepada keselamatan bekerja melalui tanda yang kelihatan. (Lihat Roman Catechism [Catechism of the Council of Trent 1565] Part II on the Sacraments, “The Word ‘Sacrament’”, par 4., “… a sign is called a Sacrament, because the divine power secretly operates our salvatiom under the veil of sensible things.”)
Di dalam perannya sebagai “Sakramen Keselamatan” inilah, Gereja dipercaya oleh Kristus untuk membagikan rahmat Tuhan di dalam ketujuh sakramen. Jadi sakramen tidaklah hanya sebagai tanda atau lambang, tetapi juga sebagai pemenuhan makna dari tanda itu sendiri, yaitu rahmat pengudusan untuk keselamatan kita (Lihat Roman Catechism Part II, Ibid., “Signs Instituted by God”, “God has appointed signs with power not only to signify, but also to accomplish what they signify. See also, “Kind of Sacred thing Meant Here”, “…the nature of a Sacrament,… is a sensible object which posseses, by divine institution, the power not only of signifying, but also of accomplishing holiness and righteousness.”) sehingga Gereja mengajarkan bahwa dengan mengambil bagian di dalam sakramen, kita diselamatkan, karena melalui Kristus, kita dipersatukan dengan Allah sendiri. (Lihat KGK 1129.)
Ketujuh sakramen ini menjadi tanda akan sesuatu yang terjadi sekarang, sesuatu yang terjadi di masa lampau, dan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. (Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologica III, q. 60, art 3, dikutip dalam KGK 1130.) Jadi semua sakramen tidak hanya membawa rahmat pengudusan (sekarang), namun juga menghadirkan Misteri Paska Kristus (di masa lampau) yang menjadi sumber kekudusan, dan menjadi gambaran akan kebahagiaan surgawi sebagai akhir dari pengudusan kita (yang akan datang). (Lihat Ibid., “All Sacraments Signify Something Present, Something Past, Something Future: all of them declare not only our sanctity and justification, but also… the Passion of Christ our Redeemer, which is the source of our sanctification, and also eternal life and heavenly bliss, which are the end of sanctification…They remind us of something past, they indicate and point out to something present; they foretell something future.”) Dengan berpartisipasi di dalam sakramen inilah kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi yang tidak mengenal batas waktu; di dalam kehidupan Kristus yang mengatasi segala sesuatu.
Mengapa Tuhan mendirikan sakramen?
Tuhan mendirikan sakramen karena: (Disarikan dari Roman Catechism, “Why the Sacraments were Instituted“)
Alasan pertama yaitu karena keterbatasan pemikiran manusia yang memahami sesuatu menurut perantaraan benda-benda yang kelihatan. Keterbatasan manusia ini yang menyebabkan adanya “sunat” untuk menandai perjanjian Allah dengan umat Israel pada Perjanjian Lama, yang disempurnakan menjadi Pembaptisan di dalam Perjanjian Baru.
Kedua, karena pemikiran manusia selalu menginginkan tanda sebagai pemenuhan janji. Kita melihat dalam masa Perjanjian Lama bagaimana Allah memberikan tanda-tanda yang menyertai bangsa Israel sampai ke Tanah Terjanji. Hal yang sama diberikan di dalam Perjanjian Baru yang merupakan pemenuhan dari Perjanjian Lama.
Ketiga, sakramen menjadi sesuatu yang selalu ada sebagai ‘obat’ rohani demi kesembuhan jiwa dan raga. Hal ini dapat kita lihat pada saat Yesus menyembuhkan orang buta dengan ludahNya yang dicampur dengan tanah (Yoh 9:6). Yesus sendiri menggunakan ‘benda perantara’ untuk menyampaikan rahmat penyembuhan-Nya. Dengan menerima sakramen, kita seumpama wanita perdarahan yang disembuhkan dengan menyentuh jubah Yesus (Mrk 5:25-34).
Ke-empat, sakramen adalah tanda/ lambang yang menandai umat beriman.
Dan yang terakhir, sakramen merupakan perwujudan iman, “karena dengan hati orang percaya dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom 10:10). Iman ini mendasari kebajikan Ilahi yang lain yaitu pengharapan dan kasih, dan ketiga hal ini menghantarkan kita kepada kekudusan, yaitu hal yang diinginkan Allah pada kita. Melalui sakramen kita mengambil bagian dalam hidup Ilahi, sehingga di akhir hidup kita nanti, kita dapat sungguh bersatu dengan Tuhan dalam keabadian surga.
Ketujuh Sakramen Gereja
Mungkin ada orang bertanya, mengapa ada tujuh sakramen? Alasannya adalah karena terdapat hubungan yang erat antara kehidupan rohani dan jasmani (disarikan dari Roman Catechism, “Why the Sacraments were Instituted“). Secara jasmani ada tujuh tahap penting kehidupan: kita lahir, tumbuh menjadi dewasa karena makan. Jika sakit kita berobat, dan di dalam hidup kita dapat memilih untuk tidak menikah atau menikah. Lalu setelah selesai menjalani hidup, kita meninggal dunia. Nah, sekarang mari kita lihat bagaimana sakramen menguduskan tahap-tahap tersebut di dalam kerohanian kita.
Kelahiran kita secara rohani ditandai dengan sakramen Pembaptisan, di mana kita dilahirkan kembali di dalam air dan Roh (Yoh 3:5), yaitu di dalam Kristus sendiri. Kita diteguhkan oleh Roh Kudus dan menjadi dewasa dalam iman melalui sakramen Penguatan (Kis 1:5). Kita bertumbuh karena mengambil bagian dalam sakramen Ekaristi yang menjadi santapan rohani (Yoh 6: 51-56). Jika rohani kita sakit, atau kita berdosa, kita dapat disembuhkan melalui pengakuan dosa dalam sakramen Tobat/ Pengakuan dosa, di mana melalui perantaraan iman-Nya Tuhan Yesus mengampuni kita (Yoh 20: 22-23). Lalu jika kita terpanggil untuk hidup selibat untuk Kerajaan Allah, Allah memberikan kuasa untuk melakukan tugas-tugas suci melalui penerimaan sakramen Tahbisan Suci/ Imamat (Mat 19:12). Sedangkan jika kita terpanggil untuk hidup berkeluarga, kita menerima sakramen Perkawinan (Mat 19:5-6). Akhirnya, pada saat kita sakit jasmani ataupun saat menjelang ajal, kita dapat menerima sakramen Pengurapan orang sakit, yang dapat membawa rahmat kesembuhan ataupun persiapan bagi kita untuk kembali ke pangkuan Allah Pencipta (Yak 5:14).
Pengajaran tentang adanya tujuh sakramen ini kita terima dari Tradisi Suci, yang kita percayai berasal dari Kristus. Ketujuh sakramen ini ditetapkan melalui Konsili di Trente (1564) untuk menolak bahwa hanya ada dua sakramen Baptis dan Ekaristi menurut pandangan gereja Protestan. Sebagai umat Katolik, kita mematuhi apa yang ditetapkan oleh Magisterium Gereja Katolik, sebab mereka -lah penerus para rasul, yang meneruskan doktrin para rasul dengan kemurniannya.
Siapa yang menciptakan Sakramen?
Allah melalui Kristus adalah Pencipta Sakramen. (Lihat Roman Catechism, “The Author of the Sacraments“, “God alone has power to enter into the hearts and minds of men, He alone, through Christ, is manifestly the author of the Sacraments.”) Sakramen mengandung kuasa yang mencapai kedalaman jiwa seseorang, dan hanya Allah yang mampu melakukan hal itu. Jadi walaupun disampaikan oleh para imam, sakramen-sakramen Gereja tersebut merupakan karya Kristus. Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benedict XVI) menyatakan, dari sisi pandang imam sebagai penerus para rasul, sakramen berarti, “Aku memberikan apa yang tidak dapat kuberikan sendiri; aku melakukan apa yang bukan pekerjaanku sendiri… aku (hanyalah) membawakan sesuatu yang dipercayakan kepadaku.” (Diterjemahkan dari Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (Ignatius Press, San Francisco, 1991), p. 115).
Jadi Kristuslah yang oleh kuasa Roh Kudus bekerja melalui para imam-Nya di dalam sakramen-sakramen. Pada sakramen Pembaptisan, Kristus sendirilah yang membaptis, ((Lihat KGK 1088.)) demikian juga pada sakramen Pengakuan Dosa, Kristus sendiri yang mengampuni melalui imam-Nya, dan di dalam Ekaristi, Ia sendiri yang memberikan Tubuh dan DarahNya untuk menjadi santapan rohani kita, sehingga kita dipersatukan dengan-Nya dan dengan sesama umat beriman di dalam ikatan persaudaraan sejati.
Akibat utama yang dihasilkan oleh sakramen
Berikut ini adalah akibat yang dihasilkan oleh penerimaan sakramen: ((Disarikan dari Roman Catechism, “Effects of the Sacraments”))
Pertama, adalah rahmat pengudusan. Rahmat ini merupakan pemenuhan janji Kristus yang dituliskan oleh Rasul Paulus, bahwa Kristus mengasihi Gereja-Nya dan menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, menyucikannya dengan air dan firman (Ef 5:26). Rahmat ini diberikan pada setiap orang untuk hidup bagi Tuhan, dan kepada Gereja secara keseluruhan untuk meningkatkan kasih dan misi pewartaan. (Lihat KGK 1134.)
Kedua, dengan menerima dan mengambil bagian di dalam sakramen, kita berpartisipasi di dalam kehidupan Yesus, dan melalui Yesus kita berpartisipasi di dalam kehidupan Allah Tritunggal Maha Kudus. Keikutsertaan kita dalam kehidupan Yesus, terutama dalam Misteri Paska ini mengantar kita kepada keselamatan kekal. Manusia melalui usahanya sendiri tidak dapat mencapai keselamatan, karena keselamatan pertama-tama karunia Allah (lih. Ef 2:5,8) yang kita terima melalui Yesus Kristus. Sebab oleh akibat dosa asal kita terpisah dari Tuhan, dan Kristus mempersatukan kita kembali dalam kehidupan-Nya melalui sakramen-sakramen. Melalui sakramen kita disatukan dengan Tuhan, dan diubah menjadi menyerupai Dia; tubuh kita yang fana menerima yang ilahi dan hati kita diisi oleh kebajikan-kebajikan yang berasal dari Allah sendiri, terutama dalam hal iman, pengharapan dan kasih.
Ketiga, ketiga sakramen yaitu Pembaptisan, Penguatan dan Tahbisan suci, memberikan ‘karakter’ yang terpatridi dalam jiwa seseorang yang menerima sakramen tersebut. Pembaptisan menjadikannya anak angkat Allah, Penguatan menjadikannya sebagai ‘serdadu’ Kristus, dan Tahbisan suci menjadikannya imam yang diberi kuasa untuk menguduskan dan menerimakan sakramen-sakramen. Karena karakter khusus inilah, maka ketiga sakramen ini hanya dapat diterima satu kali saja.
Bagaimana agar kita menerima ‘buah’ yang berguna melalui sakramen
Pertama, kita harus mengetahui, menghargai dan menghormati rahmat ilahi yang diberikan melalui sakramen-sakramen ini. Lalu, karena kita mengetahui bahwa Allah sendiri yang memberikan rahmat-Nya, maka kita harus memperlakukan rahmat itu dengan hormat dan dengan semestinya, dan dengan sikap yang benar, terutama dalam sakramen Tobat dan Ekaristi, agar kita dapat menghasilkan buahnya. ((Lihat KGK 1131.)) Kita harus mempersiapkan diri dan berpartisipasi pada saat kita menerima sakramen-sakramen dalam perayaan liturgi Gereja.
Kita mengetahui bahwa Yesuslah yang memerintahkan pemberian sakramen-sakramen tersebut melalui ajaran-ajaranNya. Karena berasal dari Kristus, rahmat itu adalah karunia yang sempurna, yang diberikan oleh kuasa Roh Kudus, yang dapat menembus jiwa untuk mendatangkan kesembuhan rohani, dan mendatangkan keselamatan yang tak ternilai harganya.
Kesimpulan
Melihat dalamnya arti ‘sakramen’ yang merupakan saluran rahmat Allah, dan tanda yang tak terpisahkan dari hakekat Gereja sebagai Tubuh Kristus, maka sudah selayaknya kita menghargai dan mempersiapkan diri seutuhnya untuk menerima sakramen-sakramen yang membawa kita kepada keselamatan. Mari kita merendahkan diri di hadapan Tuhan dengan menerima cara Tuhan menyampaikan rahmat-Nya kepada kita, baik untuk jiwa maupun tubuh kita, untuk mendatangkan keselamatan dan ‘kesembuhan’ baik rohani maupun jasmani. Dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi yang dicurahkan kepada kita melalui Kristus.
*image: penelusuran google