RENUNGAN

Memanggul Salib Yesus

Hari Minggu Biasa XXXIII  (17 Nopember 2019)

Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.

DITERBITKAN OLEH TIM KERJA KITAB SUCI – DPP. SANTO YOSEP PURWOKERTO

“Apa yang kamu lihat di situ akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan” (Luk 21: 6)

Bpk/ibu, Saudara/i  terkasih dalam  Tuhan Yesus.

Membaca Injil hari ini, saya terinspirasi untuk sharing kilas balik perjalanan hidup saya saat penugasan di Papua era 1970-1980. Pada awal penugasan semua jabatan saya ada di lapangan, yakni sebagai Komandan Peleton, Komandan Koramil, Komandan Kompi dan Kasi Operasi Batalion. Kondisi infrastruktur di Papua saat itu jangan dibandingkan dengan kondisi saat ini. Saat itu mobilitas di pedalaman ditempuh dengan jalan kaki atau menggunakan pesawat jenis Cesna milik misionaris. Pesawat kecil dengan baling-baling satu dan bermesin tunggal ini sering digunakan untuk mendukung kegiatan operasi militer, baik untuk pergeseran pasukan, evakuasi ataupun dropping logistik. Pesawat hanya bisa mengangkut maksimal 6 penumpang, dengan beban berat  barang yang terbatas sekali.

Setiap kali masuk pesawat, saya mengawali dengan doa untuk menyerahkan hidup saya dalam lindungan-Nya. Saya juga mempercayakan kehandalan pilot, kondisi pesawat serta kondisi cuaca yang akan saya hadapi. Dengan tinggi jelajah hanya 300 meter dari permukaan tanah, saya bisa menyaksikan indahnya tanah Papua serta ganasnya kondisi medan. Kondisi yang paling menegangkan dan sering terjadi adalah jika dalam perjalanan menghadapi cuaca yang tiba=tiba berubah buruk. Hujan yang sangat besar disertai angin keras bertiup, dengan kilatan halilintar menyambar di sekitar pesawat. Juga datangnya kabut tebal dengan jarak pandang yang terbatas. Kehandalan pilot untuk bermanufer dan menghindari ketinggian bukit yang tertutup kabut teruji di sini. Pilot hanya menggantungkan amatan visual dan membaca peta untuk mencari sasaran di mana kami harus mendarat. “Burung besi” telah  berubah menjadi capung kecil yang terhempas ke kiri ke kanan dan naik turun, seperti nyaris tak berdaya menghadapi ganasnya cuaca.

“Tuhan, saya takut!”, doa saya dalam hati. Saya hanya berserah diri dengan meletakan ketakutanku di pangkuan-Nya. “Aku tidak sekali-kali meninggalkan kamu. Aku ini, jangan takut!” Terngiang sabda-Nya kepada para murid yang perahunya dihempas gelombang dan badai. Dengan berdoa, hati menjadi lapang, perasaan lebih tenang dan berserah diri, “Terjadilah kepadaku menurut kehendakMu”, begitulah doa saya mengutip kata-kata Bunda Maria. “Engkau tidak meninggalkan aku” adalah keyakinan yang sungguh menguatkan. Saat itulah saya sadar dan belajar memiliki “iman”  sebagai kekuatan dalam pengalaman nyata.

Bapak/Ibu, Saudara/i terkasih.

Begitu sampai tujuan, saya menempati pos berupa rumah panggung, dengan dinding dari gaba-gaba (pelepah daun sagu) dan atap dari daun alang-alang. Dinding banyak berlubang dengan atap yang bocor di beberapa tempat. Rumah kecil yang harus ditempati 10 personil, dengan tidur di lantai beralaskan ponco tipis dan ransel punggung sebagai bantal. Di waktu malam gelap gulita dan hanya diterangi dengan bara api sekedar untuk menghangatkan badan serta mengusir nyamuk yang begitu banyak, perlu kesiap-siagaan perorangan dengan memegang senter dan senjata api. Buasnya alam Papua selain banyaknya nyamuk malaria, juga banyak lalat, pacet/lintah, kalajengking dan ular berbisa. Itulah binatang yang berada di sekitar rumah tinggal kami. Bukit yang membujur dengan medan yang terpotong-potong, sangat mengganggu frekuensi radio dan menyulitkan rentang kendali dalam komando perhubungan.

Bagaimana masyarakatnya? Mereka masih telanjang, badan kurus, dan banyak yang kulit di sekujur tubuh terjangkit kaskado (semacam eksim sehingga badannya bersisik putih). Angka kematian tinggi karena tingkat kesehatan dan gizi yang begitu rendah. Mereka belum tersentuh pembangunan dengan sedikit peradaban. Hidup bersama dengan binatang piaraan anjing dan babi hutan. Kondisi sosial ekonomi yang rendah sehingga secara usia terlihat cepat tua. Mereka berpikir sangat sederhana, jujur apa adanya, dengan tingkat emosi yang cukup tinggi sehingga mudah tersulut untuk cepat terjadi perang antar suku/kampung. Di sinilah saya tersadar dan tergugah bahwa selain menjaga keamanan daerah, ada tugas lain yang lebih mulia yaitu “memanusiakan manusia”.

Bapak/Ibu, Saudara/i terkasih.

Dengan melihat kondisi sosial yang sangat rendah dari masyarakat setempat, saya harus dapat berbuat sekecil apapun untuk menjadi terang, ragi atau garam di lingkungan saya bertugas. Allah adalah kasih. Allah yang begitu mengasihi kita ingin melihat kita mampu membagikan kasih-Nya. Penuhilah hati kami dengan Kasih Allah, agar kami bisa berbagi kasih dan bisa menyatu dengan mereka.

Sebagai seorang militer kami tanggalkan rasa egois, disiplin yang kaku dan sok kuasa untuk menakuti mereka. Kami harus menampilkan “wajah Yesus” yang selalu tersenyum ramah, sabar lemah lembut dan rendah hati. Dengan peralatan sederhana dan terbatas, kami ikut membantu membuka lahan dan bercocok tanam, mengajari hidup bersih baik tubuh dan lingkungan tempat tinggal, mengajar cara membaca, menulis dan berhitung dengan gaya seperti seorang guru. Juga memberikan bantuan kesehatan dan logistik meski terbatas. Kadang kami harus cepat berpindah tempat jika di sekitar kami terjadi bencana alam karena adanya gempa bumi, banjir, puting beliung, tanah longsor, dll.

Adaptasi yang cepat akan menimbulkan rasa kemanunggalan dan ikatan kekeluargaan yang tulus tanpa pamrih. Masyarakat berperan sebagai Badan Pengumpul Keterangan, sekaligus sebagai  “Early Warning System” jika ada penyusupan orang tidak dikenal yang akan mengganggu keamanan. Dengan demikian cegah dini dan tindak dini dapat segera dilakukan, tanpa harus menimbulkan korban jiwa. Setahun kami berkumpul, tiba saatnya berpisah kami harus kembali ke tengah keluarga di home base. Setahun, atau bahkan kadang kurang dari setahun berkumpul dengan keluarga, kemudian tiba saatnya kami bergiliran untuk masuk ke pedalaman kembali dengan daerah yang baru. Pada waktu itu daerah seluas Irian Jaya hanya ter-cover oleh kekuatan tiga Batalion Infanteri, yang dalam kondisi kekuatan di bawah 600 personil tiap batalion yang jauh dari Tabel Organisasi Personil Perlengkapan (TOP)

Kebutuhan primer berupa sembako di Irian Jaya sangat tergantung dari luar yang hanya bisa terjangkau dengan kapal laut atau pesawat terbang, yang sangat terbatas jumlahnya. Panjangnya jalur logistik dan terbatasnya sarana trasportasi, mengakibatkan harga pada saat itu bisa tiga kali bahkan lebih dengan harga di Jawa. Untuk menghidupi satu istri dengan dua anak harus benar-benar mengetatkan ikat pinggang sebenarnya, disesuaikan dengan kemampuan jumlah gaji yang diterima. Yang lain yang harus mendapat perhatian adalah menjaga kesehatan keluarga dari sakit malaria. Karena jika sudah kena dan terlambat penanganannya bisa berakibat kematian. Ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dari kondisi geografi, demografi dan kondisi sosial akan menempa hati, jiwa dan pikiran kita untuk tidak cepat menyerah dengan kondisi yang ada. Doa selalu kupanjatkan, “Kuserahkan hidupku kepangkuan-Mu, Tuhan”.

Bapak/Ibu, Saudara/i terkasih.

Babak dua dasa warsa masa sisa pengabdian, saya pindah ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta hingga menjalani purna tugas. Tugas di pulau Jawa mendapat segala fasilitas kerja relatif lengkap, sarana rumah tangga lengkap dan relatif murah, termasuk fasilitas pendidikan untuk anak yang cukup maju. Tempaan 10 tahun awal bertugas di Papua membuka pikiran, mata hati dan mata batinku, bahwa hidup di Jawa laksana “di bumi seperti di surga”, sepanjang kita tahan terhadap godaan dan mensyukuri nikmat rejeki-Nya. Saya tidak pernah menuntut fasilitas dan hak yang berlebihan, apalagi menawar tugas. Hati dan pikiranku berusaha untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan dari komando dengan sebaik-baiknya. Ternyata menyandang status ”katolik” juga dapat berpengaruh untuk dapat meraih jabatan yang lebih tinggi. Era berkompetisi secara “sehat” untuk dapat meraih bintang di langit, dengan sebutan pangkat “Jendral” adalah dambaan bagi semua prajurit. Saya menjalani dengan iklas dan melayani dengan hati. Beberapa senior dan sesama rekan satu angkatan telah dapat meraih posisi penting di tingkat nasional.

Dalam persaingan yang dikatakan  “sehat”  tetapi beda iman juga berpengaruh dalam karier. Walau dalam ketentuan tidak “tersurat” tetapi bisa “tersirat” dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Untuk memperoleh jabatan pada jenjang yang lebih tinggi, maka godaan dengan “iming-iming” secara langsung dengan cara “menggadaikan iman katolik” hadir dalam menjalani tugas selanjutnya.

Istri saya asli dari Banyumas, dan menjalani pembaptisan saat usia di atas dua puluh tahun. Puji Tuhan hingga saat ini keluarga besar saya tetap taat dan tidak goyah sebagai  “domba Kristus”. Semoga sampai akhir hayat. Amin!

Saya mengamini kebenaran firman Tuhan ini: “Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena namaKu. Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu bertahan kamu akan memperoleh hidupmu.” (Lukas 21:17-19)

Berkah Dalem

Hieronimus Soedjarwo.

Lingk St. Andreas

Kategori:RENUNGAN, Renungan Minggu

Tagged as: , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.