Hari Minggu Biasa V (5 Pebruari 2023)
Yes. 58:7-10; Mzm. 112:4-5,6-7,8a,9; 1Kor. 2:1-5; Mat. 5:13-16.
DITERBITKAN OLEH TIM KERJA KITAB SUCI – DPP. SANTO YOSEP PURWOKERTO
Bapak-Ibu, Saudara-saudari terkasih dalam Kristus.

Jika bicara tentang garam, pikiran kita langsung terhubung dengan masakan. Dengan menambahkan garam pada masakan dalam komposisi yang pas, maka masakan akan terasa mantap, enak dinikmati. Masakan tanpa bumbu penyedap masih terasa nikmat tapi masakan tanpa garam akan hambar, tetapi penambahan garam yg berlebihan juga akan merusak rasa dari masakan. Garam juga berfungsi menggarami segala sesuatu agar segar dan awet.
Melalui bacaan hari ini, Tuhan menghendaki kita menjadi garam, garam yang bisa membawa kenikmatan dimana pun kita berada bukan garam yang justru membawa kekacauan. Juga bukan menjadi garam yang tawar, jika garam itu tawar tidak ada gunanya selain diinjak injak dan dibuang. Bagaimana kita sebagai garam yang bisa membuat segala seuatunya menjadi enak.
Murid-murid disebut “Kamulah garam dunia…!” (ay. 13a). Bukannya diserukan agar kita “menjadi” garam. Yang dimaksud ialah agar kita tetap sebagai garam. Perkaranya, bagaimana bila dayanya hilang dan jadi hambar (ay. 13b)? Ini terjadi bila kita kehilangan identitas sebagai murid Krustus. Garam yang hambar tak berguna, bakal dibuang, diinjak-injak (ay. 13c). Murid yang tak bisa ikut membuat dunia ini makin awet dan enak didiami dengan sendirinya tidak menyumbang banyak. Sayang!
Para murid juga diibaratkan sebagai “terang dunia” (ay. 14a). Menyusul dua contoh. Pertama, kota di atas gunung tentu saja terlihat dari mana-mana (ay. 14b). Sebagai murid-murid, kita tak bisa menutup-nutupi diri, tak bisa bersembunyi. Cara hidup kita pasti terlihat, tak peduli apakah orang akan mendatanginya sebagai tempat berlindung atau malah sebagai sasaran kedengkian. Bagaimanapun juga, yang melihatnya tidak bakal hanya mendiamkannya. Contoh selanjutnya makin jelas. Lampu menerangi seluruh ruang karena memang dipasang di atas, tidak ditutup dengan tempayan (ay. 15). Kita sebagai murid Kristus memang ada di tempat yang memungkinkan untuk menerangi seluruh ruang. Hidup sebagai murid bukan urusan kesempurnaan pribadi, melainkan hidup menerangi lingkungan. Demikianlah perintah menjadi “Garam & Terang Dunia”, pertama-tama adalah soal identitas diri kita sebagai murid Kristus, identitas kita tak boleh luntur agar kita mampu berdiri tegak atas iman kita.
Bapak-Ibu, Saudara-saudari terkasih.
Sebagai orang yang mengimani Kristus kita memang harus siap menjadi garam dan terang dunia. Mungkin kita berfikir alangkah beratnya tugas yang diberikan Tuhan Yesus supaya kita menjadi garam dan terang dunia.
Dalam konteks pengajaran di Bukit, menjadi murid jelas bukan ditujukan bagi keselamatan sendiri atau demi keluhuran sang guru, melainkan agar orang banyak bisa melihat betapa Yang Mahakuasa yang di surga itu bisa dialami sebagai yang sebagai Bapa yang Maharahim. Perbuatan baik para murid menjadi jalan bagi Yang Mahakuasa agar terlihat oleh orang banyak sebagai Bapa!
Bisakah orang tetap menjadi garam dan terang di dalam masyarakat majemuk dan yang rumit susunannya seperti masyarakat zaman ini? Orang tak bisa tinggal hanya di dalam kelompok sendiri. Mau tak mau akan ikut berperan di dalam macam-macam tataran lain. Bisakah orang tetap punya identitas? Ya. Sekali ditaburkan, garam memberi rasa pada sayur. Begitu pula terang menyinari seluruh ruangan, tidak terbatas di satu sudut saja. Bila ada tempat yang tidak kena terang atau tidak tergarami, itu karena ada penghalangnya. Dalam masyarakat yang berlapis-lapis, para murid tidak hanya menggarami kelompok sendiri atau menerangi lingkungan terbatas. Yang terjadi pada satu tataran akan ada kelanjutannya di lapis lain pula. Di era yang makin mengalami globalisasi ini, makin besar pula peran garam dan terang tadi. Yang tidak menjalankannya akan menjauhi kenyataan dan menjadi hambar, ambles, padam, tak masuk hitungan.
Hidup sebagai garam bukan berarti terjun mengasinkan orang-orang lain dengan menonjolkan ibadat serta rumus-rumus kepercayaan sendiri. Itu justru arah yang semakin ke diri sendiri, makin sungsang. Garam itu meluas, tidak menciut.
Sekali lagi Mat 5:16 dapat dipakai sebagai pegangan. Sebagai murid Kristus, kita diminta agar melakukan perbuatan yang bakal membuat orang-orang bisa memuliakan Bapa yang ada di surga. Maksudnya ialah agar perbuatan dan tingkah laku kita itu menjadi bentuk kehadiran Bapa di dunia ini. Kehadiran seperti ini tidak dapat dipaksa-paksakan kepada orang banyak. Hanya bisa dipersaksikan. Kerap kali sikap kurang menerima dan memusuhi berawal dari kurang mengenali apa yang sedang terjadi. Maka tindakan yang paling bijak ialah membuat agar didengar dan dikenal terlebih dulu secara apa adanya. Makin berlapis-lapis sebuah masyarakat, makin perlu identitas masing-masing kelompok tampil dengan jujur. Tanpa integritas, dengan mudah terjadi saling kecurigaan mengenai itikad baik masing-masing dan kesetujuan-kesetujuan bersama susah tercapai. Memang keragaman dapat mengakibatkan sikap apatis, luntur, ngikut aje, pindah-pindah. Tetapi justru garam dan terang bagi dunia itu akan menghilangkan rasa hambar dan mengendalikan kesimpangsiuran.
Selama ini mungkin kita pasif, diam sehingga kehadiran kita, talenta kita tidak tampak. Orang tidak bisa merasakan kehadiran kita. Inilah yang mestinya kita rubah, kita berusaha untuk berani memunculkan ide, berani untuk menampakan diri dengan talenta yang ada supaya orang bisa melihat apa yang kita punya. Kepekaan kita juga mulai ditumbuhkan untuk bisa memberi cahaya pada orang-orang yang berada dalam kegelapan entah sedang sakit, sedang berduka, sedang menghadapi berbagai masalah, bagaimana kehadiran kita bisa memberikan semangat, memberi motivasi, memberi penghiburan. Kehadiran kita sebagai garam dan terang dunia harus selalu berlandaskan belas kasih dan kemuliaan Tuhan.
Smoga kita juga selalu dimampukan untuk menunjukan wajah Kristus dimanapun berada. Jangan kita menjadi garam yang tawar dan cahaya yang redup. Amin.
Tuhan memberkati.
Melania Moertrini
Lingk. St. Paulus
Kategori:RENUNGAN, Renungan Minggu