Hari Minggu Biasa IV (29 Januari 2023)
Zef. 2:3; 3:12-13; Mzm. 146:1,7,8-9a,9bc-10; 1Kor. 1:26-31; Mat. 5:1-12a.
DITERBITKAN OLEH TIM KERJA KITAB SUCI – DPP. SANTO YOSEP PURWOKERTO
Bapak-Ibu, Saudara-saudari terkasih dalam Kristus.

Renungan minggu ini saya ambil dari Injil Matius 5:1-12a dengan perikop Kebahagiaan Sejati. Bacaan Injil minggu ini biasa kita kenal sebagai “Sabda Bahagia”. Perikop ini mengingatkan saya akan ukuran kebahagiaan menurut standar Allah. Dikisahkan saat itu Yesus mengajar orang banyak di atas bukit. Dalam khotbah-Nya Yesus memberi pengajaran tentang kebahagiaan sejati. Yang kalau kita cermati, beberapa ajaran Yesus akan sulit kita terima dengan nalar manusia apalagi diterima secara sukarela. Bagaimana mungkin orang yang bersedih akan merasa bahagia (ay. 4), atau bagaimana mungkin orang yang hidupnya menderita atau dicela, dianiaya dan difitnah akan merasa bahagia (ay. 10-11).
Tetapi memang demikianlah ukuran kebahagiaan yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita umat-Nya. Karena kebahagiaan sejati dengan standar ilahi seringkali kita tolak ketika kita mengedepankan kebahagiaan secara duniawi. Kita maunya memiliki kebahagiaan sesuai dengan keinginan kita atau sesuai dengan ukuran kita, bukan sesuai dengan kehendak Allah sendiri.
Bapak/Ibu dan Saudara/i yang dikasihi Tuhan.
Ketika saya dan Anda ditanya apakah mau hidup bahagia? Saya yakin kita semua pasti akan menjawab mau. Karena sejatinya, manusia merupakan makhluk yang selalu mendambakan dan merindukan apa yang disebut dengan bahagia. Siapakah yang dalam hidupnya tidak pernah mendambakan dan merindukan kebahagiaan? Pertanyaan selanjutnya, bahagia yang seperti apa? Ketika ditanya seperti itu kita masing-masing akan memiliki kriteria sendiri tentang arti kebahagiaan. Ada yang menjawab bahagia adalah ketika dapat mengumpulkan harta yang berlimpah atau setidaknya cukup untuk hidup tujuh turunan. Ada yang merasa bahagia ketika memiliki kedudukan di dalam pekerjaan atau di masyarakat. Ada yang merasa bahagia ketika bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Namun ada juga yang mungkin menjawab asal sudah bisa makan tiga kali sehari sudah merasa bahagia. Bahkan seringkali kita pun bisa melihat postingan di media sosial bahwa bahagia itu sederhana, disertai gambar sedang memancing, sedang kumpul bersama keluarga, ketika sedang bersepeda bersama teman-teman se-hobi, sedang makan bersama di warung makan pedesaan, sedang jalan pagi bersama teman-teman se-profesi, sedang melamun dan masih banyak lagi jawaban atau pendapat mengenai apa itu bahagia dalam hidup kita.
Mengenai kebahagiaan ini, saya pun memiliki pengalaman dalam memaknai arti bahagia dalam perjalanan hidup saya. Ketika jaman saya masih kecil, masa-masa SD-SMP, saya merasa sangat bahagia ketika bisa bermain sepuasnya sepulang sekolah. Ketika saya tidak belajar namun saat ulangan mendapatkan nilai yang cukup bagus. Atau ketika saya bisa minggat tidak mengikuti pelajaran. Kemudian saat saya beranjak remaja arti bahagia menjadi bergeser, saya akan merasa bahagia ketika bisa jalan bareng dengan teman-teman sekelas, apa lagi dengan seseorang yang dengannya saya memiliki perasaan khusus. Atau ketika lulus kuliah dan saya diterima kerja, itu sungguh perasaan bahagia yang tak terhingga. Namun kemudian definisi bahagia menjadi berubah lagi ketika saya akan memasuki masa-masa hidup berkeluarga. Saat itu saya bermimpi, saya akan merasa bahagia ketika saya bisa memiliki keluarga kecil dengan rumah mungil di suatu kota yang tidak terlalu ramai atau sibuk. Namun benarkah demikian? Karena ternyata rasa bahagia yang saya rasakan dengan memakai ukuran dunia ini seringkali berubah-ubah sesuai keinginan atau mimpi kita, dan sifatnya tidak permanen. Saat semua kebahagiaan duniawi yang kita rasakan tergerus oleh peristiwa sedih atau keadaan yang tidak kita inginkan, semisal harta yang kita kumpulkan hilang, kebahagiaan itu pun spontan hilang digantikan oleh kesedihan yang mungkin berlarut-larut atau juga kekhawatiran, ketakutan atau bahkan melupakan Tuhan.
Bapak/Ibu dan Saudara/i yang terkasih di dalam Kristus.
Melaui bacaan Injil minggu ini, Tuhan Yesus mengingatkan kita bahwa sumber kebahagiaan sejati adalah Tuhan. Apa yang selama ini kita sebut sebagai sumber kebahagiaan kita adalah milik Tuhan, yang dapat hilang lenyap dalam sekejap jika dikehendaki-Nya. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Karena itu, hal-hal duniawi tidak dapat kita jadikan sebagai ukuran kebahagiaan, termasuk harta benda, bahkan usia kita sendiri. Menggantungkan hidup hanya kepada Tuhan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa direbut oleh siapapun. Menggantungkan hidup hanya kepada Tuhan berarti juga melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Dengan bergantung, berserah dan berharap hanya kepada Tuhan, kebahagiaan sejati akan kita rasakan secara permanen, tidak terusik oleh situasi kondisi di sekeliling kita atau apapun yang sedang kita hadapi.
Inginkah Bapak-Ibu, Saudara-saudari terkasih mengalami kebahagiaan sejati? Mari kita ikuti prosesnya. Kebahagiaan harus diawali dengan pertobatan; dilanjutkan dengan hidup yang memiliki orientasi untuk menyenangkan hati Allah. Semakin dekat dengan Dia, semakin kita mirip dengan Dia serta sifat-sifat-Nya yakni lemah lembut bukan keras hati, lapar dan haus akan kebenaran bukannya kecemaran, murah hati bukannya kikir atau tamak. Itulah jalan bahagia, jalan hidup yang sepenuhnya berada dalam pembentukan Tuhan. Untuk itu mari kita terus belajar hidup bukan untuk diri sendiri saja melainkan untuk Allah, karena kebahagiaan sejati hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memfokuskan hidupnya kepada Allah. Berada dalam hadirat Allah adalah bagian terpenting dalam mengusakahkan kebahagiaan kita. Dia akan hadir selalu dalam hidup kita, menuntun dan menyertai perjalan hidup kita dan keluarga kita. Dia-lah Damai Sejahtera, sumber – pokok kebahagiaan serta akhir dan tujuan hidup kita.
Semoga kita senantiasa mengalami kebahagiaan sejati karena menjadi putra-putri Allah.
Tuhan memberkati.
Benedictus Widiyanto
Lingk. St. Stefanus
Kategori:RENUNGAN, Renungan Minggu