Uncategorized

Sambal Segar dan Persahabatan Imam Senior

#Memoar

Akhir tahun 90-an untuk pertama kali saya masuk ruang bagian dalam pastoran Paroki St. Yosep Purwokerto. Ketika itu pastor parokinya adalah Rm Ardiatmono MSC. Romo berotot kekar itu juga pastor pendamping mahasiswa, sementara saya baru lulus studi dan masih lontang-lantung cari kerja.

Saya datang ke pastoran untuk sekedar menyapa, hai-hai, atau mendiskusikan suatu kegiatan mahasiswa Katolik Purwokerto. Tembok dan pintu penyekat ruang tamu dan ‘ndalem’ pastoran sudah dibangun ketika itu. Jadi ya tadi, ada rasa gimana gitu, diajak Rm Ardiatmono ngobrol di dalam. Rasa “dihargai”, diterima sebagai bagian dekat dari pastor mahasiswa.

Rm G. Widyosuwondo MSC

Nah, pas di dalam itu saya juga bertemu dengan Rm G. Widyosuwondo MSC yang menjadi fokus catatan ini. Salah satu yang menarik adalah soal sambal segar.

Suatu kali saya datang dan dipanggil Rm Ardiatmono masuk ruang makan.

Sebentar, saya ceritakan dulu gambaran ruang pastoran yang tentu saja bagi kita, selepas kebakaran pada 17 Oktober 2019 dan renovasi, ruang itu hanya bisa dikenang. Seperti kita ketahui, kebarakan telah menghanguskan sebagian bangunan pastoran. Atas pertimbangan struktur bangunan sudah renta dan ditambah dengan pemanasan oleh api suhu tinggi, impian memiliki gedung pastoran baru lantas dipercepat pewujudannya. Pastoran lama dibongkar. Dibangun pastoran baru.

Pada dinding pemisah ruang tamu dan ruang dalam pastoran ada kaca blok (glassblock). Kaca blok ditata mengelompok sedemikian rupa. Tampaknya digunakan untuk menambah cahaya dari bagian dalam pastoran ke ruang tamu. Jadi, di bagian dalam pastoran itu ada area tanpa atap. Cahaya matahari dengan leluasa masuk. Sebagian di antaranya tersalur ke ruang tamu.

Ada taman di situ. Pelataran berumput dan tanaman-tanaman di dinding yang dihias batu-batu. Pintu kamar, kalau tak salah ingat ada tiga, menghadap ke taman setelah sebelumnya ada lorong. Itu di sisi timur taman. Sisi selatan taman ada selasar beratap yang lebih lebar, baru di belakang itu ada dua kamar. Di selasar itu ada kursi untuk santai, juga rak-rak majalah serta televisi.

Di selasar itu pula saya dan beberapa teman mahasiswa yang mendapat kesempatan masuk ‘ndalem’ pastoran duduk dan berdiskusi dengan Rm Ardiatmono.

Nah, di sisi timur dari kursi di selasar selatan itulah ruang makan.

Saya tidak pernah ikut makan (besar) meskipun dipersilakan. Paling membuat minum dan menemani Romo Ardiatmono makan. Kadang mencomot buah pisang atau jeruk.

Suatu kali saya melihat Rm Widyo meracik sambal dan menggerus sendiri. Saya takjub dengan hal itu.

Saya memandang Rm Widyo sebagai imam senior dengan kewibawaan tertentu. Bukan model Rm Ardiatmono yang dengan enak bisa diajak bercanda khas anak muda.

Dengan aura wibawa tersebut kok ya ternyata kersa atau mau nyambal sendiri.

“Romo Widyo biasa membuat sambal sendiri,” kata Rm Ardiatmono.

Saya lupa apakah sambal bawang putih atau bawang merah. Tapi yang jelas ada cabai rawit dan garam. Jumlahnya tidak banyak. Hanya cukup untuk menemani makan siang. Menggetarkan bibir dan lidah yang kepedasan.

Bagi saya, ketika menjumpai imam senior meracik dan menggerus sambal sendiri, padahal ada karyawan yang bisa dimintai tolong, atau tinggal minta ibu a atau b untuk membuatkan, pada saat itu saya melihat sisi manusiawi imam. Ketika seorang imam dapat menikmati hobi kecilnya, ia menikmati sisi manusiawi dirinya.

Lantas hal apakah soal ‘persahabatan imam senior’ seperti dalam judul?

Begini, ketika dalam perjalanan waktu saya sering melihat kehidupan para imam, bersama itu saya juga menemukan pemahaman-pemahaman baru.

Misalnya kehadiran Rm Widyosuwondo masuk Keuskupan Purwokerto (lagi). Apa dan mengapa seorang dosen ahli Kitab Suci mendapat tugas di paroki di Purwokerto? Bukankah keahliannya dan ilmu yang dimiliki lebih bermanfaat ketika tetap di kampus (Seminari Pineleng) dan mengajar mahasiswa seminari?

Dalam rumor dan analisis pinggiran akhirnya tersimpulkan kurang lebih seperti ini.

Ketika itu sebagai keuskupan, Purwokerto tidak memiliki uskup. Mgr Paskalis Hardjasoemarta MSC wafat pada 23 Mei 1999. Setelah itu keuskupan dipimpin secara administratif oleh Rm Sigit Pr sampai menunggu Bapa Suci memilih uskup baru.

Nah pada asat “tahta lowong” itulah dicari imam-imam yang cocok, tepat, unggul untuk diajukan ke Vatikan seturut dengan mekanisme yang ada, untuk kemudian dipilih oleh Bapa Suci.

Tampaknya, kehadiran penugasan Rm Widyosuwondo MSC di Keuskupan Purwokerto dalam konteks tersebut. Nama Rm Widyo diharapkan menjadi salah satu nama yang diajukan ke Vatikan. Kesenioran dan juga kepandaiannya cukup mumpuni.

Tentu saja saya tetap memakai istilah, tampaknya. Proses pengajuan dan penjaringan nama hingga Bapa Suci mengumumkan nama terpilih bisa dibilang sangat tertutup atau rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya.

Sebagaimana kita ketahui, nama yang muncul kemudian adalah Romo Julianus Sunarka SJ. Romo Narka adalah jesuit mantan direktur LPPS KWI. Ketika namanya disebut, Rm Narka baru saja “menutup” lembaga karitatif KWI versi sebelum KARINA KWI, nama sekarang.

Mgr Julianus Sunarka SJ

Romo Narka belum pernah bertugas di Keuskupan Purwokerto. Tentu saja ini mengingat wilayah Keuskupan Purwokerto bukan wilayah pelayanan tarekat imam Jesuit. Dulu sekali, pra Misi Kristus Raja, wilayah Jawa Tengah bagian barat juga masuk penggembalaan Vikaris Apostolik Jakarta Mgr. A. van Velsen SJ. Daerah Jawa Tengah bagian barat bestatus Misi Kristus Raja sejak 1927.

Bagi Keuskupan Purwokerto, Romo Narka adalah “tamu”. Tuan rumahnya adalah imam MSC dan imam Praja. Termasuk di dalamnya adalah Rm Widyosuwondo MSC.

Apa yang dilakukan tamu atas tuan rumah bagi saya cukup menarik. Romo Narka, atau kemudian Mgr Narka, tampaknya menyadari betul keberadaannya memasuki rumah orang. Monsinyur Narka tahu bagaimana menempatkan diri.

Ketika nama Rm Narka muncul sebagai Uskup Keuskupan Purwokerto, ia lantas meminta bantuan Rm Widyosuwondo untuk merancang atau menggambar logo penggembalaan. Tentu saja logo tersebut hasil penggagasan Rm Narka lantas disampaikan dan didiskusikan dengan Rm Widyo. Romo Widyo dikenal punya kemampuan menggambar.

Romo Narka kelahiran 1941 sementara Rm Widyo kelahiran 1940. Sepantaran. Usia mereka 60-an tahun ketika pemilihan uskup itu.

Sebagai imam yang “dipersiapkan” untuk dipilih menjadi uskup, Romo Widyo tersapa sedemikian hangat ketika diminta menggambar logo Mgr Sunarka. Persahabatan dua imam senior itu pun terbangun.

Saya tertegun ketika ikut mengintip perjumpaan formal antara Mgr Sunarka dengan Rm Widyo dalam kunjungan Uskup ke Paroki Santo Yosep Purwokerto. Saya sebut formal karena itu adalah kunjungan pertama Mgr Narka setelah menjadi uskup. Kunjungan resmi ke paroki-paroki.

Akan tetapi, suasana yang terjadi dalam ruang pertemuan yang menyertakan puluhan atau bahkan mungkin seratusan umat itu adalah suasana hangat penuh kekeluargaan. Di hadapan Mgr Sunarka dan umat, Romo Widyo bercerita riwayat hidup Mgr Narka. Bukan dengan pidato naratif, tetapi melalui gambar dan nyanyian.

Gambarannya seperti ini; Rm Widyo membuat gambar sosok-sosok Mgr Narka dalam lembaran kertas. Kertas-kertas itu disambung-sambung sampai sekitar dua meter. Atau bahkan lebih. (Saya tidak tahu apakah file gambar ini masih tersimpan atau tidak). Nah, di depan forum, Rm Widyo lantas menarasikan (menceritakan) gambar tersebut dilengkapi atau dibawakan dalam nyanyian. Pada lagu naratif tesebut ada refren yang menyanyikannya mengajak umat.

Monsinyur Narka sendiri terlihat begitu gembira. Ia terlihat ikut berdendang saat refren dan menggoyang-goyang badan. Uniknya sebagian liriknya terutama dalam refren yang diulang-ulang, menyebut “olok-olokan” atas diri Mgr Narka.

“Kethuwk, ireng tuntheng…” begitu bagian liriknya. Atau setidaknya semakna dengan olokan tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, pada awal penggembalaan, Mgr Narka sering mengenalkan atau menyebut dirinya ireng atau hitam. Ungkapan itu katanya berasal dari kata ‘sunarka’ dari namanya yang berarti sinar matahari. Jadi, dirinya adalah anak yang lahir dan terbakar matahari sehingga hitam tuntheng.

Tentu saja atas olok-olokan dalam nyanyian itu Mgr Sunarka tidak sakit hati. Ia telah menerima dirinya, sudah selesai dengan dirinya, bahkan sudah dapat melepas keterikatan-keterikatan dirinya dari banyak hal. Tak ada yang akan menyakitkan hati bagi seseorang yang telah melepaskan atau meletakkan segala sesuatu atas dirinya sebagai milik Pencipta Semesta.

Begitulah. Kalau hari-hari ini atau kelak kalau bangunan pastoran baru yang megah itu sudah resmi dipakai, ketika memandangnya, saya akan tetap mengenang peristiwa perjumpaan dua imam senior tersebut. Pertemuan malam “penuh olokan” dengan nyanyian-nyanyian dan refren yang menggembirakan. Olok-olokan yang disambut dengan senyuman. Persahabatan antara Mgr Sunarka dan Rm Widyosuwondo.

Sutriyono Robert

Kenangan Pastoran St Yosep jelang tiga tahun setelah kebaran 17 Oktober 2019

Wisma KP, 090922

Kategori:Uncategorized

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.