Hari Minggu Biasa II (17 Januari 2021)
1Sam.3:3b-10.19; Mzm 40:1.4ab.7-8a.8b-9.10; 1Kor. 6:13c-15a.17-20; Yoh. 1:35-42.
DITERBITKAN OLEH TIM KERJA KITAB SUCI – DPP. SANTO YOSEP PURWOKERTO
“Lihatlah Anak domba Allah!” Kedua murid itu mendengar apa yang dikatakannya itu, lalu mereka pergi mengikut Yesus. (Yoh.1:36b-37)
Bapak /ibu, Saudara/i Sahabat Yesus terkasih.

Injil minggu ini berkisah tentang murid-murid Yesus yang pertama. Dalam bacaan tersebut dikisahkan bagaimana Yohanes (pembaptis) menunjukkan kepada siapa seharusnya para muridnya “berguru”. Ada tiga sosok yang berperan dalam kisah tersebut dengan peran dan tugas yang berbeda.
Yang pertama, Yohanes (pembaptis). Siapa yang tidak mengenal sosok ini, dialah utusan Allah yang bertugas membuka dan meluruskan jalan untuk mempersiapkan kedatangan sang Mesias. Melalui pewartaan tentang pertobatan, para muridnya dipersiapkan untuk menemukan keselamatan kekal melalui Sang Mesias. Yohanes, seorang guru dengan pribadi yang rendah hati, yang tidak pernah mementingkan dunia bagi dirinya sendiri. Dia rela kehilangan pengikutnya/muridnya demi keselamatan manusia dan kemuliaan Tuhan.
Yang ke dua adalah Andreas, salah satu tokoh yang disebutkan dalam bacaan Injil minggu ini: Salah seorang dari keduanya yang mendengar perkataan Yohanes lalu mengikuti Yesus adalah Andreas, saudara Simon Petrus (Yoh.1:40). Mengapa Andreas mengikuti apa yang Yohanes katakan dan meninggalkan gurunya yang sudah sekian lama dia ikuti? Karena Andreas sangat percaya dengan gurunya dan tidak akan ragu untuk mengikuti perkataannya ketika “guru”-nya berkata “Lihatlah Anak Domba Allah!” (Yoh.1:36b).
Sosok yang ke tiga adalah sudah pasti Yesus, dialah Sang Guru Sejati yang akan membawa kita yang percaya kepada-Nya menuju kepada keselamatan kekal. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh.14:6).
Bapak/Ibu dan saudara/i yang dikasihi Tuhan Yesus.
Guru, ada yang mengatakan singkatan dari “digugu lan ditiru” atau dalam bahasa Indonesia artinya “dipercaya dan dicontoh”. Menurut pandangan saya memang seperti itulah seharusnya sosok seorang guru. Segala ucapannya dapat dipercaya dan segala tindakannya dapat dicontoh oleh murid-muridnya. Sampai saat ini masih teringat saat saya masih sekolah di bangku SD 40 tahun lebih yang lalu. Saat itu Bapak dan Ibu guru mengajari kami sopan santun, dan sampai sekarang masih melekat erat dalam pikiran saya, bagaimana harus bersopan santun karena memang kata-katanya bisa digugu. Dalam realita kehidupan bahkan ada murid yang lebih ‘manut’ kepada perkataan gurunya daripada perkataan orang tuanya.
Pun demikian dengan Yohanes (pembaptis). Dia menjadi guru yang sungguh-sungguh dipercaya dan kata-katanya diikuti oleh para muridnya. Andreas tidak ragu ketika Yohanes secara implisit meminta Andreas untuk mengikuti Yesus dengan mengatakan: “Lihatlah Anak domba Allah!” Kedua murid itu mendengar apa yang dikatakannya itu, lalu mereka pergi mengikut Yesus. (Yoh.1:36b-37).
Saya yakin bahwa Yohanes pasti secara konsisten dan terus menerus memperkenalkan Yesus kepada para muridnya. Dia tidak bosan-bosannya memperkenalkan Yesus sebagai Anak Domba Allah.
Dengan sering mendengarnya dan kepercayaan pada apa yang Yohanes katakan, maka Andreas mau mengenal Yesus lebih dekat untuk menjadi muridNya: “Rabi (artinya: Guru), di manakah Engkau tinggal?” Ia berkata kepada mereka: “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Merekapun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia; waktu itu kira-kira pukul empat. (Yoh.1:38c-39)
Bapak/Ibu dan saudari/a yang terkasih.
Saat ini kita yang notabene mengaku sudah menjadi murid Yesus sudahkah mengenal Dia dengan lebih dekat? Sudahkah kita memahami apa yang Yesus ajarkan kepada kita semua? Menjadi murid Yesus tidaklah hanya sekedar tahu bahwa Dia adalah Juruselamat, Mesias, Allah yang menjelma menjadi manusia atau Sang Firman yang hidup. Sebagai murid Yesus, tidak saja kita harus mempelajari semua yang diajarkan oleh Yesus, tetapi kita juga terpanggil untuk meneladani kehidupan-Nya, agar kita bisa bertumbuh. Untuk itu kita yang mengaku sebagai murid Yesus haruslah mengenal Dia lebih dekat dan percaya penuh dengan apa yang Dia ajarkan. Hal terpenting dalam mengikut Yesus bukanlah lamanya kita sudah dibaptis atau sudah berapa banyak yang kita berikan atau lakukan untuk Tuhan Yesus. Bisa saja kita yang sudah lama dibaptis, rajin mengikuti perayaan Ekaristi, aktif dalam kegiatan Gereja, tetapi apakah kita benar-benar sudah bertumbuh, dalam arti semakin dewasa di dalam iman dan pengenalan kita akan Tuhan?
Sebagai murid Yesus kita juga memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan Yesus kepada orang lain dan itu bisa kita lakukan kapan saja, di mana saja. Yang paling sederhana yaitu posisi kita sebagai orang tua; kita bisa mengajari anak untuk mengenal Yesus dengan cara menghadirkan Dia dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita dengan konsisten dan terus menerus memberi contoh hidup secara benar maka anak kitapun akan mengingat dan mengikuti apa yang sudah kita contohkan, sekaligus menjadikan anak kita murid Yesus yang lain. Maka ketika cara hidup kita masih kacau, masih suka marah-marah, masih suka berantem antar pasangan suami istri, masih melakukan korupsi, manipulasi, mudah mengejek orang lain, tentulah itu semua bertentangan dengan apa yang Yesus ajarkan dan menjadi contoh yang buruk bagi anak kita.
Bapak/Ibu dan saudara/i terkasih.
Kita yang sudah memilih menjadi pengikut Kristus (murid Yesus) ditantang untuk “naik kelas” agar menjadi murid Yesus yang sejati, bukan murid yang biasa-biasa saja. Yang namanya tantangan selalu tidak mudah untuk dilewati, bahkan seringkali menjadi mustahil bagi yang mudah menyerah. Karena tantangan untuk menjadi murid Yesus tidaklah ringan. Untuk menjadi murid-Nya yang sejati, dengan tegas Yesus meminta kita untuk menaklukkan diri sendiri dengan selalu mendahulukan kehendak-Nya di atas kepentingan pribadi; meneladani-Nya dan menjadikan hidup-Nya sebagai hidup kita serta memikul salib kehidupan kita dengan tabah dan setia.
Situasi dunia saat ini seringkali menjadi batu sandungan bagi kita untuk menjadi murid Yesus yang sejati. Godaan adanya PIL/WIL membuat pasangan suami-istri harus berjuang sangat keras mewujudkan janji setia yang mereka ikrarkan di hari perkawinan. Godaan kedudukan, harta dan jabatan juga sering membuat para murid Yesus berpaling. Mungkin juga ada pegawai yang diasingkan di tempat kerja, bukan karena mereka tidak kompeten, melainkan karena mereka mau konsisten dengan nilai-nilai yang diajarkan Yesus.
Bila hanya mengandalkan kekuatan sendiri, menjadi murid Yesus yang sejati tentu menjadi sesuatu yang berat bagi kita. Karenanya kita harus memohon rahmat Tuhan dan menyertakan Roh Kudus agar kita dimampukan oleh-Nya untuk menapaki jalan kemuridan ini.
Siapkah kita menjadi murid Yesus yang sejati?
Marilah kita berdoa, Allah Bapa yang penuh kasih, tuntun dan bimbing kami selalu agar Kau mampukan kami untuk tetap setia dan sabar dalam memanggul salib kami sehingga kami layak menjadi murid-Mu yang sejati. Amin.
Tuhan memberkati kita semua.
Berkah Dalem,
Benedictus Widiyanto
Lingk. St. Stefanus
Kategori:RENUNGAN, Renungan Minggu