Hari Minggu Biasa XXVIII (13 Oktober 2019)
Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19.
DITERBITKAN OLEH TIM KERJA KITAB SUCI – DPP. SANTO YOSEP PURWOKERTO
“Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” (Luk 17:17-18)
Bapak/Ibu, Saudara/i terkasih.
Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang kesepuluh orang kusta yang menemui Yesus dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, dan memohon kepada Yesus untuk mengasihani dengan menyembuhkan mereka. Namun ketika mereka sembuh/tahir, hanya satu dari sepuluh orang kusta tadi yang kembali kepada Yesus dan mengucapkan syukur serta memuliakan Allah. Orang itu adalah orang Samaria.
Kisah tersebut menarik bagi saya, karena apa yang dialami Yesus saat itu sungguh benar-benar terjadi dalam kehidupan ini. Ada sebuah pengalaman yang ingin saya sharingkan berkaitan dengan Injil hari ini.
Ketika itu ada beberapa teman yang akan mengadakan perjalanan untuk suatu tugas. Hanya selang satu hari sebelum keberangkatan, mereka masih memikirkan tentang transportasi yang akan digunakan. Karena tidak disangka, apa yang sudah jauh direncanakan, tiba-tiba batal karena urusan mendadak. Lalu salah satu teman, memberitahu saya lewat whatsapp bahwa tetap ingin berangkat tapi belum ada kendaraan. Karena saya melihat semangatnya, maka saya pun berusaha mencarikan kendaraan. Kebetulan saya memiliki kontak yang sudah biasa mengantarkan keluarga kami, saat pergi tidak menggunakan kendaraan sendiri. Dan Puji Tuhan, setelah saya hubungi, kontak tersebut bisa dan sanggup mengantarkan teman saya dan teman yang lain. Akhirnya teman-teman pun bisa berangkat.
Tiba-tiba ada pesan WA masuk di handphone saya. Ternyata pesan dari teman yang menghubungi saya untuk mencarikan kendaraan. Dia sangat berterimakasih karena menurutnya, apa yang telah saya lakukan dapat menghantarkan mereka dalam memenuhi tugas. Saya pun jadi ingat dengan apa yang dialami Yesus dengan kesepuluh orang kusta. Ada beberapa yang pergi, tetapi hanya satu yang kembali, yaitu dengan mengucapkan terima kasih. Hal yang sepele, tapi sangat menyentuh hati saya, karena saya merasa betapa teman tersebut memiliki kepedulian yang sangat besar. Dia benar-benar memperhatikan hal kecil yang mungkin tidak diperhatikan orang lain.
Saya tidak menyangka bahwa teman tersebut akan mengirim pesan WA, khusus untuk berterimakasih. Karena setelah mencarikan kendaraan, saya merasa biasa saja, hanya ada kelegaan bisa menolong teman. Tanpa terbersit pikiran apapun.
Bapak/Ibu, Saudara/i terkasih.
Ucapan “terimakasih” memang sangat mudah diucapkan, tetapi sering kita mengabaikannya dan menjadikannya hanya sebagai ungkapan basa-basi. Padahal jika kita mengucapkan dengan ketulusan, ada kebahagiaan, kelegaan dan kepuasan tersendiri. Ucapan “terima kasih” itu juga membuat orang yang menerimanya merasakan hal yang sama.
Alangkah indah kalau kita bisa meneladan orang Samaria yang telah mendapat mujizat kesembuhan dari sakit kusta yang dideritanya. Dia terbebas dari penderitaan yang selama ini dirasakan, karena sakit kusta pasti dikucilkan dan dihindari orang. Dan saat dia mendapatkan mujizat itu bersama sembilan teman-temannya, betapa bahagianya. Dia tidak melupakan orang yang telah menyelamatkannya, yaitu Yesus. Dia pun mencari Yesus, kembali untuk bersyukur dan memuliakan Allah.
Sering di saat bahagia, berkelimpahan rejeki, harta, kedudukan tinggi, kita melupakan bahwa di balik semua yang kita raih, ada kuasa Tuhan yang bekerja. Bukan dari hasil kita sendiri. Kita sering merasa bangga bahwa semua itu hasil kerja keras sendiri. Tanpa menyadari bahwa Tuhanlah yang bekerja dan berkehendak. Tanpa campur tangan-Nya, tidak akan tercapai semua itu.
Kita tidak menyadari bahwa terkadang ingat dan datang kepada Tuhan hanya ketika dalam keadaan sakit, kesulitan, dalam masalah. Seperti kesepuluh orang kusta yang datang, minta dikasihani Yesus. Mereka begitu mengharapkan penyakitnya disembuhkan. Begitu juga dengan kita yang sering minta dikasihani Tuhan, tetapi saat pertolongan Tuhan nyata, kita lupa. Bahkan tidak peduli lagi dengan Tuhan. Terasa berat untuk menyediakan waktu buat Tuhan, lewat kegiatan-kegiatan rohani di lingkungan, gereja atau pun di masyarakat sekitar. Sering kita merasa semua kegiatan itu menyita waktu dan mengurangi rejeki, padahal justru yang terjadi adalah sebaliknya. Semakin kita dekat, berusaha datang kepada-Nya dalam keadaan apapun, juga lewat kegiatan apapun, kita akan memperoleh kebahagiaan, keselamatan, kedamaian. Tidak perlu khawatir apa yang kita miliki akan hilang, bahkan Tuhan akan selalu menambahkan, kalau kita selalu bisa bersyukur dengan mengalirkan kasih Tuhan lewat semua ciptaan-Nya. Seperti satu orang kusta yang kembali kepada Yesus. Karena Ia dipenuhi dengan rasa syukur, dan kembali menemui Yesus, Yesus pun merasakan bahagia. Maka Ia berkata kepada orang kusta yang kembali kepada-Nya, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau”.
Kisah kesepuluh orang kusta juga mengingatkan kita pada kasih Tuhan yang begitu besar kepada kita dengan semua ciptaan-Nya yang begitu indah. Pada awal diciptakan, semua indah adanya. Tetapi, tidak semua manusia bersyukur dan peduli, terbukti dengan rusaknya alam ciptaan ini. Bahkan hanya sedikit yang peduli dan bersyukur. Banyak sampah kita jumpai di sungai, got, penebangan pohon di hutan, pembakaran hutan, membuang sampah sembarangan, yang semua itu dapat menyebabkan banjir. Juga banyak yang kurang bijaksana dalam penggunaan air, listrik, pemakaian styrofoam dan plastik yang keduanya tidak bisa terurai oleh tanah sehingga mencemarinya.
Melihat kondisi alam yang makin lama makin memprihatinkan, mari kita bersama-sama peduli sebagai wujud syukur kita. Misalnya, kita membuang sampah pada tempatnya, menghemat penggunaan air (apalagi di musim kemarau panjang ini), menghemat pemakaian listrik, mengurangi penggunaan plastik, styrofoam, menanam tanaman di lahan-lahan kosong (menghijaukan lingkungan), dan sebagainya.
Dengan mencintai, merawat dan menjaga lingkungan hidup, berarti kita turut serta melestarikan bumi ciptaan Tuhan. Yuuk saudara-saudaraku, kita tingkatkan iman kita dengan berusaha selalu beryukur, mendekatkan diri pada Tuhan dan mengalirkan kasih Tuhan kepada semua ciptaan-Nya. Semoga terwujud kebahagiaan dan kedamaian di bumi yang begitu indah diciptakan-Nya.
Berkah Dalem.
A. Anik Iswarini
Lingk. St. Ignatius.
Renungan terbaik 1 lomba menulis renungan dalam rangka BKSN 2019 Paroki Santo Yosep Purwokerto
Kategori:RENUNGAN, Renungan Minggu