( Melalui Kebudayaan Jawa, meraih Iman yang Dalam dan Kuat )
Judul di atas merupakan tema peringatan tahun baru satu Suro di Paroki Santo Yosep Purwokerto. Peringatan Tahun Baru Jawa yang biasa disebut Suro, diawali dengan Perayaan Ekaristi Syukur pada hari Rabu, tanggal 4 September 2019 pukul 18.00 WIB, di gereja Santo Yosep, Purwokerto Timur. Sudah merupakan tradisi setiap tahun, umat SanYos mengenakan pakaian adat Jawa atau batik dalam misa ini. Begitu pula petugas liturgi mengenakan pakaian adat Jawa, tetapi para imam tetap mengenakan kasula.
Tradisi Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta dan Solo ( Surakarta ) masih memegang teguh ajaran yang diwarisi oleh leluhurnya. Salah satu ajaran yang masih dilakukan adalah menjalankan tradisi satu Suro, tahun baru dalam kalender Jawa yang dianggap sakral bagi masyarakat Jawa.
Satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa yang menitikberatkan pada ketenteraman batin dan keselamatan. Maka biasanya selalu diselingi dengan doa dari umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkat dan perlindungan dari Tuhan. Selain itu masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Perayaan Ekaristi Tahun Baru Suro Di Gereja Santo Yosep
Tahun Baru satu Suro 2019 yang jatuh pada hari Minggu, tanggal 1 September 2019, dirayakan oleh umat paroki Santo Yosep pada hari Rabu, 4 September 2019 pukul 18.00 di gereja Santo Yosep Purwokerto dengan Perayaan Ekaristi sebagai ungkapan syukur atas penyertaan dan kasih Tuhan.
Sebelum Perayaan Ekaristi, dinyanyikan tembang Macapat; Pangkur oleh ibu Theresia Dwi Harganing dengan suara merdunya. Syair Macapat tembang Pangkur yang dikidungkan antara lain :
Wong kang becik mijil saka
Jroning ati ingkang dasare becik.
Kawijil ing jujur tulus.
Dene wong ala saka
Bandaning piala ngetokake kojur.
Wecaning lesan kamangka,
Metu king mumpaling ati.
Yang intinya adalah bahwa orang baik memiliki hati yang baik dan tulus. Sedangkan orang tidak baik akan menghasilkan hal yang tidak baik.
Tepat pukul 18.00, Perayaan Ekaristi dimulai dan dipimpin oleh pasangan duo Romo yang berkarya di Paroki Santo Yosep saat ini, yaitu Romo Valentinus Sumanto Winata, Pr dan Romo Albertus Magnus Kristiadji Rahardjo, MSC. Sebelum perarakan, ditampilkan tari Bambangan Cakil, salah satu tari klasik Jawa Tengah. Tari ini sebenarnya diadopsi dari salah satu adegan yang ada dalam pementasan wayang kulit yaitu adegan perang kembang. Tari ini menceritakan perang antara kesatria melawan raksasa. Kesatria adalah tokoh yang bersifat halus dan lemah lembut, sedangkan raksasa menggambarkan tokoh yang beringas dan kasar.
Makna yang terkandung dalam tarian ini adalah bahwa segala bentuk kejahatan dan keangkaramurkaan pasti kalah dengan kebaikan.
Usai tarian Bambangan Cakil, dilanjutkan dengan Perayaan Ekaristi yang diiringi oleh kelompok penabuh gamelan dari Paroki Katedral Kristus Raja Purwokerto. Koor campuran bapak-bapak dan ibu-ibu dari beberapa lingkungan yang ada di Paroki Santo Yosep.
Meraih Iman Yang Dalam dan Kuat
Dalam homili, Romo Manto menegaskan kembali apa yang yang dikatakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, karena dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (cf. 2Tim 3: 14-15).
Romo Manto juga mengajak umat untuk bersyukur atas aneka macam budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Inilah salah satu kekayaan bangsa kita, yang juga diyakini oleh Gereja bahwa budaya yang ada bila disikapi dan dipergunakan dengan bijaksana akan bisa membantu bertumbuh kembang dan semakin dewasanya iman umat katolik. Mengapa? Karena sejak awal Allah mau menyapa dan berbicara dengan manusia dengan bahasa dan budaya manusia, bahkan Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.
Lewat budaya Jawa khususnya perayaan tahun baru suro ini, Romo mengajak umat untuk bisa menemukan nilai-nilai iman yang terkandung di dalamnya, misalnya semangat bermatiraga, keheningan batin, mengendalikan diri dari segala bentuk hawa nafsu, dll sehingga iman umat menjadi semakin utuh, dewasa, kuat dan mendalam.
Menutup kotbahnya Romo mengharapkan dengan iman yang utuh ini akhirnya Gereja mampu menghasilkan buah yang baik bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk masyarakat di mana Gereja itu hidup. Hal ini ditegaskan oleh Yesus sendiri dalam Injil-Nya, “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik.” (cf. Luk 6: 45)
Wujud Syukur Umat
Setelah Perayaan Ekaristi, seluruh umat Paroki Santo Yosep menuju ke aula untuk bersama-sama bersyukur dengan ramah-tamah dan menikmati hidangan dari umat. Beberapa acara hiburan juga ditampilkan sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan umat.
Makanan yang disajikan adalah makanan tradisional berupa nasi, pecel, tempe/tahu bacem, kerupuk, rempeyek, dan bubur tujuh rupa. Makanan tersebut disiapkan oleh 5 wilayah yang ada di Paroki Santo Yosep. Masing-masing wilayah membawa makanan sesuai dengan kesepakatan bersama. Hal ini bertujuan untuk menyatukan umat dalam kebersamaan dan kekompakan tugas, sebagai salah satu ungkapan iman.
Lagu Gambang Suling dan Yo Pra Kanca mengawali acara ramah-tamah umat di aula yang disambung dengan drama pendek yang menceritakan tentang makna bubur tujuh rupa. Drama dimainkan oleh beberapa teman dari tim kerja bidang liturgi dan kelompok kategorial.
Bubur, dalam masyarakat Jawa merupakan makanan yang memiliki banyak doa dan pengharapan mulia. Bubur yang biasanya digunakan untuk keperluan ritual budaya, disebut dengan bubur tujuh rupa. Tujuh rupa karena ada tujuh macam bubur. Karena dalam bahasa Jawa, tujuh itu pitu, singkatan dari pitulungan (memohon pertolongan pada Tuhan).
Ketujuh bubur yang disajikan dalam acara ramah-tamah di aula adalah bubur merah putih, bubur sumsum, bubur lolos, bubur mutiara, bubur candil, bubur pacar, bubur kacang hijau.
Bubur Merah Putih memiliki makna “keseimbangan”, ada siang, ada malam, kadang senang, kadang sedih. Bubur putih simbol kekuatan (ayah), sedangkan bubur merah simbol darah saat melahirkan (ibu). Jadi mengingatkan kita akan kelahiran manusia di dunia yang dikehendaki Tuhan melalui kedua orang-tua.
Bubur Sumsum merupakan simbol kekuatan, bermakna sebagai rasa syukur dan memulihkan kekuatan setelah lelah menyelenggarakan hajatan atau pesta perayaan adat.
Bubur Lolos dianggap sebagai simbol agar proses melahirkan si ibu dimudahkan alias lolos atau lancar. Bubur lolos ini sering dijumpai kalau ada masyarakat yang mengadakan acara tujuh bulan.
Bubur Ketan Hitam memiliki makna filosofis kebersamaan dan menyatukan. Karena sifat beras ketan yang lengket, seringkali beras ketan dimasak untuk acara seperti pernikahan dengan doa dan harapan bisa merekatkan tali kasih dan menjalani hidup berkeluarga yang langgeng.
Bubur Candil memiliki makna bahwa kehidupan itu seperti cakra manggilingan (roda yang berputar), kadang berada di atas, kadang berada di bawah. Artinya hidup itu naik turun. Manusia diharapkan menemukan kestabilan dalam hidup.
Bubur Pacar, sesuai tampilannya yang berwarna-warni, melambangkan bahwa kehidupan itu penuh warna dan bervariasi. Ada tantangan, ada kemudahan, ada sedih, ada senang, ada hitam, ada putih, dan sebagainya. Manusia dituntut untuk bisa mewarnai kehidupan ini dengan hal-hal yang baik.
Bubur Kacang Hijau bermanfaat untuk kesehatan. Kacang hijau mengandung banyak protein, vitamin B, A dan E.
Selesai drama pendek, acara ditutup dengan menyanyikan lagu ‘Ojo Sumelang’ oleh ibu-ibu Santa Monika. Meski sudah sepuh-sepuh tetapi semangat dalam menyanyi dan tampil dengan bagus.
Beberapa umat pemenang lomba menulis puisi dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74, juga membacakan hasil karya mereka. Ibu Christina Tri Septiani membacakan puisi berjudul “Indahnya Indonesiaku”, bapak Yulius Jerry Wenur (Negeriku, Ungkapan Imanku), ibu Christiana Rini Astuti (Bunga Bangsa) dan Ibu Fransiska (Kemerdekaan Indonesia).
Baca juga: Puisi Kebangsaan
Sungguh indah puisi-puisi hasil karya bapak ibu umat Paroki Santo Yosep sebagai ungkapan kecintaan pada Tanah Air Indonesia.
Semoga dengan menghargai kebudayaan, iman kita pun semakin dalam dan bertumbuh untuk bisa mengalirkan kasih Tuhan kepada sesama. Amin.
Berkah Dalem.
Penulis,

Yohanes Avila Nunung Winarta, Kabid Liturgi SanYos
Foto dan video: Yohanes Purwanto & Lily Karlina
Kategori:AKTUALIA, Seputar Paroki