Cerpen Pemenang Lomba Bulan Kebangsaan SanYos 2019 – karya Monika Agustini
Mataku berkeliling menjelajah dan memandangi kamar berukuran 3×3 m dengan warna cat biru muda yang mulai memudar. Kamar di mana aku telah menempatinya beberapa waktu yang lalu dan yang sebentar lagi akan aku tinggalkan.
Pagi itu aku tergesa-gesa mencari Angkutan Pedesaan jurusan desa MEKAR SARI. Setelah aku menemukan kendaraan itu aku segera naik. “Mau kemana, Ci?” tanya pak sopir kepadaku. Aku mau ke kantor kelurahan desa MEKARSARI, Pak”, jawabku. “Oh…ya” jawab pak sopir sambil menatapku bingung dari kaca spion di depannya. Meskipun waktu masih pagi tetapi kendaraan itu segera penuh sesak dengan para penumpang dan berbagai macam barang bawaan mereka. Tak lama kemudian kendaraan itupun berjalan melaju dengan perlahan. Mungkin terlalu berat beban yang harus diangkutnya.
Setelah melewati jalan menanjak dan berkelok–kelok akhirnya aku sampai di tempat tujuanku tepat di depan kantor kelurahan. Pak Lurah HADI SUSENO dan beberapa stafnya telah menunggu kehadiranku. “Selamat datang bu Ika“, sambut pak Lurah sambil menjabat tanganku. ”Terimakasih pak Lurah”, kataku sambil membalas jabat tangannya dengan penuh rasa hormat. Ada aura kewibawaan yang besar terpancar dari dalam dirinya. Dan bersamaan dengan itu meskipun perlahan, aku mendengar seorang bapak yang berkata, “Oh… ternyata Insinyurnya itu orang China ya.” Aku pura–pura tidak mendengarnya. Kusalami mereka satu persatu dengan hormat dan kasih.
Setelah selesai penyambutanku, aku langsung dibawa ke rumah pak Lurah. Ternyata Ibu YAYU istri pak Lurah telah menantikan juga kehadiranku. Wanita muda yang lembut dan penuh kharisma ini langsung memelukku seperti terhadap teman lamanya atau terhadap keluarganya sendiri. Aku merasa senang dan bahagia diperlakukan seperti itu. Pasti pak Hadi telah bercerita tentang siapakah aku ini. Aku VERONIKA MURNIASIH seorang Insinyur Pertanian keturunan TIONG HOA, yang ingin mengabdikan diri untuk kemajuan negeriku di bidang pertanian.
Hal ini aku lakukan selain karena aku sungguh-sungguh mencintai negeri dan bangsaku ini dengan tulus hati, juga karena nasehat dari Opaku sewaktu beliau masih hidup. Pesannya, “Ika, kita memang keturunan Tiong Hua, tetapi kita lahir, besar dan mati pun di sini. Jadi kita ini sejatinya ya orang INDONESIA. Ingat, cintai negerimu, cintai bangsamu dengan talenta dan ilmu pengetahuan yang kelak nanti kamu terima di sekolah. Janganlah kamu pandang bulu terhadap siapapun karena TUHAN YESUS sudah mengajarkan kepada kita untuk mengasihi TUHAN dan sesama.” Satu lagi pesan Opa, jangan lupa untuk selalu berdoa ya.
Pak Hadi berpamitan untuk kembali ke kantor. Kemudian aku diajak masuk ke dalam rumah dan dihantar ke kamar tidur untuk beristirahat. Aku duduk di kursi plastik yang ada di dalam kamar itu, lalu aku berdoa memanjatkan rasa syukur dan terima kasihku kepada TUHAN ALLAH atas rahmat dan kasih karunia-NYA yang dilimpahkan dalam perjalananku hari ini.
Waktu makan siang tiba, bu Yayu mengajak ku untuk makan bersama keluarganya. Di meja makan pak Hadi dan ke dua putra putrinya telah duduk menunggu. Mereka berdua langsung menghampiriku dan memberi salam. Anak-anak yang baik dan sopan, kataku dalam hati.
“Ayo makan seadanya, bu Ika.” kata bu Yayu. Aku langsung protes “Maaf bu Yayu, panggil saya Ika saja biar lebih akrab”. Dan bu Yayu pun setuju. Aku makan dengan lahapnya karena sejak pagi tadi aku hanya makan sepotong roti saja.
Kami menjadi semakin akrab dengan mereka. Sore hari Pram yang masih duduk di bangku SMP kelas 1 dan Dewi yang masih SD kelas 5 minta ditemani untuk belajar.
Keesokan paginya aku dihantar oleh pak Hadi menemui para petani di desa itu yang sudah beberapa kali mengalami gagal panen. Aku memperkenalkan diri kepada mereka dan langsung memberi penyuluhan bagaimana cara menanam padi dan merawatnya dengan baik dan benar sehingga dapat menghasilkan panen yang baik dan banyak.
Pada awalnya mereka ragu dengan apa yang aku jelaskan. Mereka merasa kalau mereka sudah menjadi petani itu sejak kecil. Namun ada beberapa petani yang mendukungku dan mau menerima penjelasanku. Seorang petani yang agak tua justru berkata, “Baiklah kita coba saja ajaran dari bu Ika, kan dia insinyur pertanian. Meskipun masih muda tapi dia memiliki ilmu pengetahuan yang mungkin bisa kita praktekkan dan bisa mengubah nasib kita untuk lebih baik.” Akhirnya mereka semua menyetujuinya.
Selama hampir 4 bulan aku bersama mereka bekerja keras di pematang sawah dan kebun dengan tidak mengenal waktu meskipun panas terik matahari membakar kulitku. Aku tidak pedulikan itu. Yang ada dalam benakku adalah keberhasilan panen yang baik.
Waktu panen pun tiba dan… PUJI TUHAN kerja keras kami berhasil. Panenan yang berlimpah dan padi yang baik pula. Sungguh aku merasa bersyukur dan aku telah mewujudkan cintaku pada negeri dan bangsaku dengan tulus hati.
“Tinnnn….tinnn…” tiba–tiba suara klakson kendaraan yang menjemputku, telah membuyarkan lamunanku. Tugasku di sini sudah selesai dan aku siap mengabdi di tempat yang lain. Aku keluar dan berpamitan degan seluruh keluarga pak Hadi. Aku melihat mbok Min sedang menangis sehingga membuat hatiku ikut bersedih. Kusalami pak Hadi sambil aku mengucapkan terimakasih karena sudah mau menampungku selama ini. Ibu Yayu ternyata juga menangis dan memelukku sehingga akupun ikut meneteskan air mata yang sejak tadi kutahan untuk tidak keluar. Kami berdua berjanji untuk saling bisa bertemu kembali.
Aku pamitan juga kepada semua orang yang ada di halaman rumah pak Hadi. Mereka adalah para petani yang kulihat sangat bahagia namun ada mendung duka karena harus berpisah denganku. Dengan air mata yang masih mengalir aku segera naik ke dalam kendaraan. Aku tidak dapat berkata apa–apa, aku hanya melambai-lambaikan tanganku. Dalam hati aku berkata: “Selamat tinggal desa Mekarsari. Engkau sudah menjadi sebagian kecil dalam perjalanan hidupku.”
MONIKA AGUSTINI (Agustus’19)