RENUNGAN

5 Orang Samaria di Sokaraja

Hari Minggu Biasa XV (14 Juli 2019)

Ul. 30:10-14; Mzm. 69:14,17,30-31,33-34,36ab,37 atau Mzm. 19:8,9,10,11; Kol. 1:15-20; Luk. 10:25-37

DITERBITKAN OLEH TIM KERJA KITAB SUCI – DPP. SANTO YOSEP PURWOKERTO

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk 10:27)

Bapak/Ibu, Saudara/i sahabat Yesus terkasih.

Di suatu pagi seperti biasa saya berangkat bekerja dengan naik sepeda motor. Kantor tempat kerja saya jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar 4 km kurang. Saya tinggal di Kalibagor dan kantor saya ada di Jl. Soeparjo Rustam Sokaraja. Jalur yang saya lewati adalah jalan kabupaten yang tidak terlalu lebar namun cukup ramai terutama di pagi hari. Karena Jl. Soewarjono ini merupakan jalur tembus yang bisa mempersingkat waktu tempuh dari Purwokerto ke Banyumas atau sebaliknya. Tidak seperti biasanya, ketika sampai di desa Pekaja tepatnya di dekat lapangan desa laju kendaraan mulai melambat. Kendaran berjalan bergantian dengan yang arah berlawanan. Terlihat antrian yang cukup panjang. Spontan saya menduga di depan sedang ada kecelakaan. Saya mencoba mengambil jalan di sebelah kiri dan melaju dengan pelan, sambil mata terus waspada semoga tidak melihat korban laka yang mungkin cukup parah. Pagi ini saya merasa tidak siap untuk melihatnya, apalagi memberikan pertolongan kalau benar sampai jatuh korban.

Sampai di tempat yang menjadi pusat kejadiaan, saya dibuat terkejut. Bukan kecelakaan yang saya lihat, namun kejadian yang tidak bisa saya lupakan begitu saja. Begini cerita singkatnya, ada seorang Bapak dari arah Purwokerto yang membawa kandi berisi beras dengan sepeda motornya. Dan entah bagaimana kejadiannya beras tersebut tumpah di jalan. Beras yang tumpah ini sangat banyak, hampir satu kandi tumpah semua dan bapak yang sudah memarkir motornya di tepi jalan ini lalu berusaha mengambil beras yang tumpah dan memasukkannya kembali ke dalam kandi. Bapak ini tidak melakukannya sendiri, ada tiga orang yang nampak membantunya. Ada yang membantu mengumpulkan beras yang berceceran dan ada juga yang membantu memasukkan ke dalam kantong kandi. Bukan hanya itu, dari selatan searah jalur saya ada seorang pemuda yang membantu mengatur jalan dan dari arah sebaliknya nampak seorang bapak yang lain melakukan hal yang sama, sehingga kendaraan bisa tetap berjalan meskipun harus bergantian.

Sesamaku-1Peristiwa yang saya alami beberapa waktu yang lalu ini, kalau saya refleksikan sungguh membuat saya menjadi malu sendiri. Bagaimana tidak, dengan adanya niat dari dalam hati untuk “menghindar” dengan mengambil lajur jalan sebelah kiri, saya merasa telah berperan seperti seorang Imam atau seorang Lewi dalam perumpamaan yang disampaikan Tuhan Yesus di bacaan Injil hari ini (Luk 10:25-37). Saya seperti seorang Imam dan seorang Lewi yang melihat korban perampokan dan melewati dari seberang jalan. Saya yang aktif dalam pelayanan di gereja dan juga dengan aksi-aksi sosialnya merasa semakin mirip dengan orang Lewi, suku Yahudi yang dipilih untuk melayani Tuhan di Bait Allah. Namun keaktifan itu ternyata tidak serta merta menjadikan saya memahami siapa sesungguhnya “sesamaku” manusia. Sebagai orang yang hidupnya di jalan, mestinya saya bisa lebih peka dengan kejadian-kejadian di sekitar saya. Namun ternyata saya masih banyak pertimbangan ketika dihadapkan dengan kejadian spontan yang semestinya bisa menjadi “ladang” untuk mempraktekkan pengajaran Firman Tuhan yang saya dapatkan dari keaktifan saya terlibat dalam hidup menggereja.

Lima orang yang telah menolong bapak tadi, adalah perwujudan dari orang Samaria yang baik hati. Saya yakin pada saat mau menolong bapak yang tertimpa musibah itu mereka sebelumnya tidak menanyakan apa suku bapak, apa agamanya, apa status sosialnya atau apa partainya. Mereka melakukannya dengan gerak spontan karena rasa belas kasih yang begitu besar melihat penderitaan orang lain. Bukan karena “sama” dalam hal-hal di atas lalu mereka menolong, tetapi karena bapak ini adalah “sesama” manusia yang sedang membutuhkan pertolongan.

Bisa jadi mereka nanti akan terlambat sampai di kantor atau menunda waktu mereka sampai di rumah ataupun menghambat tujuan yang lainnya. Dengan memilih menolong bapak tadi, mereka telah rela berkorban untuk orang lain. Ya, mau berkorban menjadi syarat mutlak untuk bisa meringankan beban sesama. Orang Samaria telah mengorbankan tenaga, waktu dan juga uang untuk menolong korban perampokan. Bahkan Yesus Kristus pun telah mengorbankan nyawa-Nya untuk menolong umat manusia.

Malalui peristiwa sederhana ini, kelima orang Samaria di Sokaraja telah memberikan contoh yang nyata bagaimana mempraktekkan kasih kepada sesama dengan sesungguhnya. Semoga saya dan saudara-saudari semua, yang menjadi “pilihan” karena rahmat baptisan, dimampukan untuk tidak hanya sekedar memperdalam ilmu agama dan pelayanan di seputar altar, namun kita juga dimampukan untuk tidak ragu mempraktekkannya Firman Tuhan dalam hidup sehari-hari. Seperti firman yang tertulis dalam bacaan pertama (Ul 30: 14) Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.

Berkah Dalem

Beny Santoso

Lingk. St. Yoh-Paulus II

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.