RENUNGAN

Kemenangan Salib atas Kesia-siaan

Renungan Jumat Agung, 19 April 2019

Harold Kushner, seorang rabi Yahudi dari New York, kehilangan anaknya, Aaron. Anaknya meninggal di usia 14 tahun. Dia terkena penyakit progeria, penuaan dini pada balita. Sebuah penyakit yang amat jarang terjadi pada anak, tapi mematikan. Kushner mempertanyakan keadilan Tuhan, “Why Does a bad thing happen to a good people?” Dia menggugat Allah dengan pertanyaan theodicy, “Mengapa Tuhan yang maha kuasa membiarkan kematian dan kejahatan terjadi pada orang pilihanNya?”

Kita juga akan mempertanyakan hal yang sama. Saat tertimpa bencana dan kematian, orang beriman mencari jawaban mengapa hal buruk terjadi padanya. Terlebih bila akhir dari bencana adalah kematian, orang makin berusaha untuk mengerti peristiwa tersebut. Ketika tak mampu menemukan jawabnya, hilanglah orientasi. Hidupnya menjadi sia-sia. Hampa dan tak berguna.

Salib dan Derita

Manusia sering berfikir bahwa dunia ini fair. Semua kejadian yang menimpa kita adalah buah dari perbuatan sebelumnya. Namun nyatanya tidak demikian. Bagaimana kita bisa memahami: bayi mati karena bencana alam, padahal bayi itu tidak bersalah?

Tuhan menciptakan dunia ini tanpa impunitas dari hukum alam. Kematian orang tidak selalu tergantung dari baik dan buruk perilakunya. Penyakit dan derita ada begitu saja tanpa kita tahu dari mana asalnya. Lalu bagaimana kita bisa memahami semua itu?

Sajak Awal dalam Yohanes 3:16, Allah sudah punya rencana, “Begitu besar kasih Allah pada dunia sehingga Dia memberikan anaknya yang tunggal pada dunia.” Yesus yang hidup di dunia menjadi cara Allah untuk tinggal dalam hidup manusia. Derita, salib dan kematiannya adalah jalan Allah untuk masuk dalam kekelaman pengalaman manusia. Paulus membahasakan dengan berkata “Dia yang tidak berdosa, dibuat menjadi berdosa!” (2 Korintus 5:21).

Kisah sengsara Yesus menjadi gambaran bagaimana orang yang tidak bersalah dinyatakan salah oleh mahkamah Agama Yahudi. Dia yang tidak berdosa harus menanggung konsekuensi kejahatan dan dosa yaitu kematian.

tablo OMK

Kisah Sengsara Yesus oleh OMK Voltus Paroki St. Yosep Purwokerto 2017

Di saat orang beriman menderita, pertanyaannya bukan “Mengapa Allah membiarkan aku menderita?” Tetapi “Allah seperti apa yang kita punya saat kita dalam derita?” Kita memiliki Yesus yang menyerahkan tubuhnya dalam derita. Ketika kita menerima pengalaman derita dan kematian, kita menyatukannya dengan derita Tuhan. Tuhan kita lebih dulu menderita. Saat kita mendapat pencobaan dan kemalangan, kita ikut serta bersama Dia.

 

Doa dan Pengharapan

Dalam pergulatanNya, Yesus juga ingin menolak derita yang harus ditanggungnya. Yesus berdoa “Ya Allah kalau boleh singkirkanlah piala ini dari padaku. Tapi bukan kehendakku melainkan kehendakMu yang terjadi!” (Matius 26:39). Secara manusiawi, setiap orang ingin menghindari derita dan kematian. Namun Yesus akhirnya menjalaninya sampai akhir.

Doa dalam masa kesesakan memberi orang kemampuan untuk menghadapinya. Mungkin doa tidak menghilangkan derita dan kematian. Namun doa memberi kekuatan. Dalam doa, orang menanggung derita seperti Yesus menanggung sengsaraNya. Orang bisa berpasrah seperti Yesus pasrah pada BapaNya. Orang mampu bertahan selayak Yesus setia dalam jalan salibNya.

Salib dan derita Yesus tak bisa terlepas dari kisah kebangkitan. Dia mengalahkan kuasa kejahatan dan kematian. Kematian bukanlah akhir dari hidupNya. Orang beriman menerima derita dan kematian, bukan karena cinta pada penderitaan. Namun karena ada pengharapan kebangkitan. Kita kuat menghadapi derita kita masing-masing karena ada keyakinan akan kebangkitan orang beriman.

Paus Yohanes Paulus II

St. Yohanes Paulus II

Dalam dokumentari tentang Paus Yohanes Paulus II, “Just Why He is a Saint”, dikisahkan bahwa meskipun menderita Parkinson hebat, Paus tidak mau mengundurkan diri. Dia ingin menjadi saksi akan kesetiaan menanggung derita dalam panggilannya. Bahkan sang Paus sering tidur di lantai, berpuasa dan memecut diri dengan sabuk kulit. John Paul II menyatukan deritanya dengan Kristus yang tersalib, sampai akhir dan mati!

 

“Jika biji gandum tidak mati, ia tinggal sebiji. Namun jika mati, ia akan berbuah banyak!” (Yohanes 12:24).

Penulis renungan:

RD Antonius Galih Arga

Romo Dr. A. Galih Arga Wiwin Aryanto, Pr., M.A.
Imam Diosesan Keuskupan Purwokerto / Dosen Kitab Suci Perjanjian Baru di Univ. Sanata Dharma

 

Kategori:RENUNGAN

Tagged as: , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.