Hari Minggu Biasa II (20 Januari 2019)
Yes. 62:1-5; Mzm. 96:1-2a,2b-3,7-8a,9-10ac; 1Kor. 12:4-11; Yoh. 2:1-11.
Diterbitkan oleh Tim Kerja Kitab Suci – DPP. Santo Yosep Purwokerto
“… mereka kehabisan anggur.” (Luk 2:3)
Bapak-Ibu dan Saudara/i terkasih
Dalam suatu pesta atau perhelatan pastilah sudah dipersiapkan segala sesuatunya dengan maksimal. Namun demikian masih saja ada kekurangannya. Demikian juga dalam pesta pernikahan saya. Juru masak yang didatangkan dari Solo kurang paham betul adat istiadat pesta di Purwokerto. Saat itu kami kehabisan nasi sementara lauknya masih tersedia banyak dan antrian masih panjang, dengan sigap kakak ipar harus lari ke luar gedung dan masuk ke warung-warung nasi rames dan diangkut semua bakul nasi untuk menutupi rasa malu karena kekurangan persediaan.
Bapak-Ibu dan Saudara/i terkasih
Peristiwa kehabisan anggur seperti dalam Injil yang hari ini kita dengar, bisa terjadi pada siapa saja. Juga seperti yang saya alami. Peristiwa ini sebenarnya kita alami bukan hanya dalam pesta, tapi juga dalam keseluruhan hidup kita. Kita merancang kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Bekerja keras untuk mencapai hal-hal tertentu yang dianggap sebagai tanda keberhasilan hidup, misalnya lewat prestasi, materi, pertemanan, pelayanan dll. Tapi ada yang lain atas nama “mencari kebahagiaan”, kemudian melakukan hal-hal yang sebenarnya merusak hidup, kesenangan-kesenangan duniawi yang sesaat. Yang pasti, orang mencari keberhasilan dan kebahagian dalam hidup ini, dengan cara yang dianggap baik. Namun hal itu belum tentu membawa kebaikan dalam hidup, bahkan sering membawa kesakitan dan penderitaan.
Refleksi atas peristiwa pesta perkawinan di Kana adalah memulai hidup ini dengan mengundang Yesus untuk hadir dalam kehidupan kita. Yesus kita undang bukan hanya sebagai tamu, tetapi sebagai pemilik kehidupan, termasuk atas semua permasalahan kita. Saat diri ini merasa tidak mampu dan layak serta pantas menjadi pelayan-Nya, maka Yesus akan menyempurnakan. Dan pada saat Yesus turun tangan, ada beberapa hal yang perlu kita pahami :
Pertama, Tuhan bisa memakai apapun sebagai alat-Nya.
Yesus menggunakan tempayan, wadah air digunakan untuk mencuci kaki, tangan para tamu, bukan untuk diminum. Namun lewat Yesus, air cucian bisa menjadi anggur yang baik. Artinya, bisa dibayangkan perubahan nilai atau harga dari isi tempayan itu! Apa yang tidak terlalu berguna, bisa diubahkan menjadi sesuatu yang sangat berharga.
Kedua, dibutuhkan ketaatan akan cara Tuhan bekerja.
Bunda Maria adalah teladan yang sempurna, menaruh kepercayaan dan taat kepada Yesus. Ketika Tuhan berkata-kata, pasti ada maksud dan kehendak-Nya yang perlu kita taati, seperti pelayan yang diperintahkan menaruh air ked alam tempayan. Dalam kisah ini yang diminta Tuhan adalah kita meminta tolong kepada-Nya secara spesifik, dan membiarkan Tuhan bekerja dalam waktu dan cara-Nya.
Ketiga, perubahan yang Tuhan kerjakan dan ketaatan kita sebagai tanggapan kepada-Nya perlu dirasakan oleh orang di sekitar kita.
Ketika Tuhan bekerja, perubahan yang pertama-tama terjadi adalah perubahan dari dalam hati, karakter, iman, cara pandang. Itulah yang pertama-tama perlu mengalami perubahan. Namun perubahan itu tentu tidak hanya terjadi di dalam kita, namun juga perlu berdampak kepada apa yang terlihat dalam kehidupan kita. Orang lain perlu mengecap dan merasakan perubahan yang terjadi dalam hidup kita.
Ketiga hal itulah yang menjadi hikmat perubahan dalam hidup dan pelayanan kita, sebagai berkat dan saluran berkat buat sesama.
Hidup kita akan memiliki makna yang penuh, ketika kita ijinkan Ia mengubah hidup kita, dan kita taat kepada-Nya, dan mengalami perubahan yang dapat dirasakan oleh orang lain dalam hidup ini.
Berkah Dalem
Laurensia M.S.
Lingk – St. Paulus
Kategori:RENUNGAN, Renungan Minggu