Subbagian 2: Struktur-Struktur Sosial Yang Membahayakan Hidup Keluarga
Dalam bab kedua mengenai situasi aktual keluarga-keluarga Sri Paus bermaksud “untuk tetap teguh berpijak pada realitas”. Beliau menggarisbawahi kenyataan bahwa dalam masyarakat dewasa ini hidup keluarga “kurang mendapatkan dukungan dari struktur masyarakat daripada di masa lalu” (AL, 32), dan ia memperingatkan tentang “kemerosotan budaya yang tidak mengembangkan kasih dan pemberian diri” (AL, 39).
Sebagai contoh, tentang kaum muda dan sikap mereka terhadap perkawinan Sri Paus menyatakan: “Dengan risiko terlalu menggampangkan, kita bisa mengatakan bahwa kita hidup dalam budaya yang mendorong orang muda agar tidak membentuk keluarga, karena mereka akan kehilangan kesempatan di masa depan…. Di berbagai negara, banyak orang muda menunda perkawinan karena alasan-alasan seperti pengalaman kegagalan dari pasangan lain, peluang sosial dan keuntungan ekonomi yang muncul dari hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, kekhawatiran akan kehilangan kebebasan dan kemerdekaan, serta penolakan terhadap sesuatu yang dianggap institusional dan birokratis” (AL, 40).
Sri Paus juga melanjutkan, “melemahnya iman dan praktik religius di beberapa negara memengaruhi keluarga-keluarga, membuat mereka semakin terisolasi di tengah-tengah kesulitan mereka” (AL, 43). Dan “satu gejala kemiskinan terbesar dari budaya kontemporer adalah kesepian, akibat ketidakhadiran Allah dalam kehidupan seseorang dan rapuhnya relasi” (AL, 43).
Mengenai banyak masalah yang keluarga-keluarga harus atasi Sri Paus menyatakan, “setiap negara atau wilayah dapat mencari penyelesaian yang lebih sesuai dengan budayanya dan peka terhadap tradisi serta kebutuhan lokalnya” (AL, 3). Lagi pula, tidak ada seorang pun yang merasa puas dengan “penyampaian warta teoritis melulu tanpa kaitan dengan masalah-masalah nyata orang-orang” (AL, 201).
Sebaliknya, setiap warga Gereja harus peduli “untuk memberikan pemahaman, penghiburan dan penerimaan, tanpa membebani mereka dengan serangkaian aturan yang hanya akan membuat orang merasa dihakimi dan ditinggalkan oleh sang Ibu yang dipanggil untuk membawa kemurahan hati Allah kepada mereka” (AL, 49). Lagi pula, cara terbaik Gereja dapat bertindak untuk menanggapi banyak tantangan yang keluarga-keluarga harus atasi ialah dengan mempromosikan “nilai-nilai yang menjawab kebutuhan-kebutuhan mereka yang sekarang bahkan berada di negara-negara yang paling sekuler sekalipun” (AL, 201). Gereja juga dipanggil untuk terus menerus mewartakan Kabar Gembira tentang keluarga itu sendiri, yang merupakan “jawaban terhadap harapan terdalam pribadi manusia” (AL, 201).
Saat Untuk Refleksi
“Situasi yang perlu kita perhatikan adalah tantangannya.
Kita tidak boleh terperangkap
dengan menghabiskan tenaga kita untuk meratap,
namun kita perlu mencari bentuk baru dari kreativitas misioner.
Dalam setiap situasi yang ada,
Gereja sadar tentang pentingnya
menyatakan kebenaran dan harapan.
Nilai-nilai luhur perkawinan dan keluarga Kristiani
bersesuaian dengan pencarian
yang menggambarkan keberadaan manusia.”
(Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, no. 57).
Kategori:Kursus Spiritualitas Hati Online, RENUNGAN