Tuhan, berbicaralah
172. Meskipun demikian, adalah mungkin bahwa, bahkan dalam doa itu sendiri, kita dapat menolak untuk membiarkan diri kita dihadapkan oleh kebebasan Roh, yang bertindak sesuai kehendak-Nya. Kita harus ingat bahwa kearifan yang penuh doa harus lahir dari kesiapan untuk mendengarkan : Tuhan dan orang lain, serta kenyataan itu sendiri, yang selalu menantang kita dengan cara-cara baru. Hanya jika kita siap untuk mendengarkan, kita memiliki kebebasan untuk mengesampingkan gagasan-gagasan kita yang tidak lengkap atau yang tidak memadai, kebiasaan dan cara kita melihat sesuatu. Dengan cara ini, kita menjadi benar-benar terbuka untuk menerima panggilan yang dapat menghancurkan keamanan kita, tetapi membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik. Segala sesuatunya tenang dan damai tidaklah mencukupi. Allah mungkin menawarkan kita sesuatu yang lebih, tetapi dalam kelalaian yang membuat kita nyaman, kita tidak mengenalinya.
173. Secara alami, sikap mendengarkan ini memerlukan ketaatan pada Injil sebagai acuan tertinggi, tetapi juga pada Magisterium yang menjaganya, ketika kita berusaha untuk menemukan dalam khazanah Gereja apa pun yang paling bermanfaat untuk “hari ini” keselamatan. Ketaatan pada Injil bukan soal menerapkan aturan-aturan atau mengulangi apa yang telah dilakukan di masa lalu, karena penyelesaian-penyelesaian yang sama tidak berlaku dalam semua keadaan dan apa yang berguna dalam suatu konteks mungkin tidak terbukti dalam suatu konteks lainnya. Kearifan akan roh membebaskan kita dari kekakuan, yang tidak memiliki tempat di hadapan “hari ini” yang abadi dari Tuhan yang bangkit. Roh sendiri dapat menembus apa yang tidak remang-remang dan tersembunyi di setiap situasi, dan memahami setiap nuansanya, sehingga kebaruan Injil dapat muncul dalam terang yang lain.
Nalar karunia dan nalar salib
174. Suatu kondisi penting untuk kemajuan dalam kearifan adalah pemahaman yang bertumbuh akan kesabaran dan jadwal waktu Allah, yang tidak pernah kita miliki. Allah tidak menurunkan api ke atas orang-orang yang tidak setia (bdk. Luk 9:54), atau membiarkan orang yang tekun untuk mencabut lalang yang tumbuh di antara gandum (bdk. Mat 13:29). Kemurahan hati juga dituntut, karena “lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis 20:35). Kearifan bukanlah tentang menemukan apa lagi yang bisa kita dapatkan dari kehidupan ini, tetapi tentang mengenali bagaimana kita dapat mencapai perutusan yang dipercayakan kepada kita pada saat kita dibaptis. Hal ini mensyaratkan kesiapan untuk berkorban, bahkan mengorbankan segalanya. Karena kebahagiaan adalah sebuah paradoks. Kita sangat mengalaminya ketika kita menerima nalar yang penuh misteri yang bukan nalar dunia ini : “Inilah nalar kita”, kata Santo Bonaventura,[125] sambil menunjuk ke arah salib. Begitu kita masuk ke dalam dinamika ini, kita tidak akan membiarkan hati nurani kita mati rasa dan kita akan membuka diri kita dengan murah hati menuju kearifan.
175. Ketika, dalam hadirat Allah, kita memeriksa perjalanan hidup kita, tidak ada satu pun wilayah yang terlarang. Dalam seluruh segi kehidupan kita dapat terus bertumbuh dan menawarkan sesuatu yang lebih besar kepada Allah, bahkan di wilayah-wilayah yang kita anggap paling sulit. Namun, kita perlu meminta Roh Kudus untuk membebaskan kita dan mengusir ketakutan yang membuat kita melarang-Nya dari bagian-bagian tertentu kehidupan kita. Allah meminta segalanya dari kita, tetapi Ia juga memberikan segalanya bagi kita. Ia tidak ingin memasuki kehidupan kita untuk melumpuhkan atau mengecilkan kehidupan tersebut, tetapi menggenapkan kehidupan tersebut. Maka, kearifan bukanlah suatu kupasan diri secara solipsistik atau suatu bentuk introspeksi diri, tetapi suatu proses otentik untuk meninggalkan diri kita di belakang untuk mendekati misteri Allah, yang membantu kita melaksanakan perutusan yang telah Ia minta dari kita, demi kebaikan saudara-saudari kita.
* * *

Bunda Maria di Gereja St. Yoseph Purwokerto
176. Saya berkeinginan permenungan-permenungan ini dimahkotai oleh Maria, karena ia menghayati Sabda Bahagia Yesus sebagai tidak ada duanya. Ia adalah wanita yang bersukacita di hadirat Allah, yang menyimpan segala sesuatunya di dalam hatinya, dan yang membiarkan dirinya ditikam oleh pedang. Maria adalah orang kudus di antara para kudus, berbahagia di atas yang lainnya. Ia mengajarkan kita jalan kekudusan dan ia sungguh berjalan di samping kita. Ia tidak membiarkan kita tetap jatuh dan kadang-kadang ia membawa kita ke dalam pelukannya tanpa menghakimi kita. Pergaulan kita dengannya menghibur, membebaskan dan menguduskan kita. Maria, Bunda kita tidak memerlukan banjir kata-kata. Ia tidak membutuhkan kita untuk menceritakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah berbisik, berkali-kali : “Salam Maria …”
177. Harapan saya adalah halaman-halaman ini akan terbukti bermanfaat dengan memungkinkan seluruh Gereja untuk mengabdikan dirinya secara baru untuk memberdayakan keinginan untuk kekudusan. Marilah kita memohon kepada Roh Kudus untuk mencurahkan atas diri kita kerinduan yang kuat untuk menjadi orang-orang kudus bagi kemuliaan Allah yang lebih besar, dan marilah kita saling mendorong dalam upaya ini. Dengan cara ini, kita akan berbagi kebahagiaan yang tidak akan dapat diambil dunia dari diri kita.
Diberikan di Roma, pada Takhta Santo Petrus, tanggal 19 Maret 2018, Hari Raya Santo Yosef, tahun keenam pontifikasi saya.
FRANSISKUS
[125] Collationes in Hexaemeron, 1, 30
Kategori:KATEKESE, Seruan Apostolik