DALAM KOMUNITAS.
140. Ketika kita hidup terpisah dari orang lain, sangatlah sulit untuk melawan nafsu berahi, jerat dan godaan iblis dan keegoisan dunia. Kita bak diberondong oleh begitu banyak rayuan, kita bisa menjadi terlalu terasing, kehilangan rasa akan kenyataan dan kejernihan batin kita, dan mudah menyerah.
141. Pertumbuhan dalam kekudusan adalah sebuah perjalanan dalam komunitas, berdampingan dengan komunitas-komunitas lainnya. Kita melihat hal ini di beberapa komunitas kudus. Dari waktu ke waktu, Gereja telah mengkanonisasi seluruh komunitas yang menghayati Injil secara heroik atau mempersembahkan kepada Allah kehidupan seluruh anggota mereka. Kita dapat memikirkan, misalnya, tujuh pendiri yang kudus dari Ordo Para Hamba Maria, ketujuh putri beata dari biara pertama Visitasi di Madrid, para martir Jepang, Santo Paulus Miki dan sejawat-sejawatnya, para martir Korea, Santo Andreas Taegon dan sejawat-sejawatnya, atau para martir Amerika Selatan, Santo Roque González, Santo Alonso Rodríguez dan sejawat-sejawatnya. Kita juga seharusnya mengingat kesaksian yang lebih baru yang ditanggung oleh para Trapis Tibhirine, Aljazair, yang dipersiapkan sebagai komunitas untuk kemartiran. Juga dalam banyak perkawinan yang kudus, setiap pasutri menjadi sarana yang digunakan oleh Kristus untuk pengudusan orang lain. Hidup atau bekerja berdampingan dengan orang lain jelas merupakan jalan pertumbuhan rohani. Santo Yohanes dari Salib mengatakan kepada salah seorang pengikutnya : “Kamu sedang hidup bersama orang lain untuk diteladani dan dapat dipercaya”.[104]
142. Setiap komunitas dipanggil untuk menciptakan “ruang yang tercerahkan oleh Allah guna mengalami kehadiran tersembunyi dari Tuhan yang telah bangkit”.[105] Berbagi sabda dan merayakan Ekaristi bersama-sama mendorong persaudaraan dan menjadikan kita komunitas yang kudus dan misioner. Hal ini juga memunculkan pengalaman mistik yang otentik dan dibagikan. Seperti yang dialami Santo Benediktus dan Santa Skolastika. Kita juga dapat memikirkan pengalaman rohani yang agung yang dibagikan oleh Santo Agustinus dan ibunya, Santa Monika. “Sementara itu sudah mendekatlah saat ia akan meninggalkan kehidupan ini, saat yang diketahui oleh-Mu, tetapi yang tidak diketahui oleh kami. Maka terjadilah, karena Kau atur, aku pasti, melalui cara-Mu yang tersembunyi, kami, Monika dan aku, berdua saja berdiri bersandar pada jendela; dari tempat itu terbentang di depan mata halaman dalam dari rumah yang kami diami … Kami ngangakan lebar-lebar mulut hati kami ke arah air yang mengalir turun dari mata air-Mu, dari sumber kehidupan yang ada pada-Mu … Dan sementara kami berbicara dan mendambakan hikmat itu, tiba-tiba kami sudah menyentuhnya, hanya sedikit saja, dengan desakan hati kami … kehidupan abadi itu seperti yang dirasakan pada saat kepahaman itu yang telah kami rindukan”.[106]
143. Tetapi, pengalaman semacam itu bukanlah yang paling sering atau yang paling penting. Kehidupan bersama, baik dalam keluarga, paroki, komunitas keagamaan atau lainnya, mencakup perkara-perkara sehari-hari. Hal ini berlaku untuk komunitas kudus yang dibentuk oleh Yesus, Maria dan Yusuf, yang tercermin dalam cara yang patut diteladani yakni meneladan indahnya persekutuan Tritunggal. Hal ini juga berlaku untuk kehidupan yang Yesus bagikan dengan murid-murid-Nya dan dengan rakyat jelata.
144. Janganlah kita lupa bahwa Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memperhatikan perkara-perkara kecil. Perkara kecil kehabisan anggur di sebuah pesta. Perkara kecil hilangnya seekor domba. Perkara kecil memperhatikan seorang janda yang mempersembahkan dua keping uang. Perkara kecil memiliki minyak cadangan untuk lampu, ketika mempelai pria tertunda kedatangannya. Perkara kecil bertanya kepada para murid berapa banyak roti yang mereka miliki. Perkara kecil memiliki api untuk berdiang dan memasak ikan sambil menunggu para murid pada saat fajar.
145. Sebuah komunitas yang menghargai perkara-perkara kasih yang kecil,[107] yang para anggotanya saling peduli dan menciptakan lingkungan yang terbuka dan menginjili, adalah tempat hadirnya Tuhan yang bangkit, menguduskannya sesuai dengan rencana Bapa. Ada saat-saat ketika, oleh kasih karunia Tuhan, kita diberikan, di tengah perkara-perkara kecil ini, pengalaman-pengalaman akan Allah yang menghibur. “Suatu malam di musim dingin aku melakukan tugas kecil saya seperti biasa … Tiba-tiba, aku mendengar di kejauhan suara merdu dari sebuah alat musik. Aku kemudian membayangkan sebuah ruang gambar yang sangat terang, yang dengan indah disepuh dengan tinta emas, dipenuhi oleh para perempuan muda berpakaian elegan yang bercakap-cakap bersama dan saling berunding dengan segala macam pujian dan pernyataan duniawi lainnya. Kemudian pandanganku jatuh pada orang cacat miskin yang aku dukung. Alih-alih alunan musik yang indah saya hanya mendengar keluhannya sesekali … Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata apa yang terjadi di dalam jiwaku; apa yang kuketahui yakni Tuhan menyinari dengan sinar kebenaran yang sangat melampaui cahaya kegelapan pesta duniawi sehingga aku tidak dapat mempercayai kebahagiaanku”.[108]
146. Bertentangan dengan individualisme konsumerisme yang berkembang yang cenderung mengasingkan kita dalam upaya mencari kesejahteraan yang terpisah dari orang lain, jalan kita menuju kekudusan hanya dapat membuat kita lebih banyak mengenali diri dengan doa Yesus “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yoh. 17:21).
[104] Tindakan-tindakan Pencegahan, 15.
[105] YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Vita Consecrata (25 Maret 1996), 42: AAS 88 (1996), 416.
[106] Pengakuan-pengakuan, IX, 10, 23-25: PL 32, 773-775.
[107] Saya memikirkan terutama tiga kata kunci “tolong”, “terima kasih” dan “maaf”. “Kata-kata yang tepat, yang diucapkan pada saat yang tepat, setiap hari melindungi dan memelihara kasih” : Seruan Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia (19 Maret 2016), 133: AAS 108 (2016), 363.
[108] TERESA DARI KANAK-KANAK YESUS, Manuskrip C, 29 v-30r.
Kategori:KATEKESE, Seruan Apostolik