116. Kekuatan batin, sebagai karya rahmat, mencegah kita terbawa oleh kekerasan yang merupakan begitu banyak bagian dari kehidupan saat ini, karena rahmat meruntuhkan kesombongan dan memungkinkan kelemahlembutan hati. Para kudus tidak membuang-buang energi untuk berkeluh kesah tentang kekurangan orang lain; mereka bisa menahan lidah mereka di hadapan kesalahan saudara-saudari mereka, dan menghindari kekerasan lisan yang merendahkan dan menjelek-jelekkan orang lain. Para kudus was-was memperlakukan orang lain dengan kasar; mereka menganggap orang lain lebih utama dari diri mereka (bdk. Flp 2:3).
117. Tidaklah baik ketika kita memandang rendah orang lain seperti para hakim yang kejam, memihak mereka dan selalu berusaha memberi mereka pelajaran. Hal itu dengan sendirinya merupakan bentuk kekerasan yang halus.[95] Santo Yohanes dari Salib mengusulkan jalan yang berbeda : “Selalu lebih suka diajarkan oleh semua orang, daripada berhasrat mengajar bahkan sedikit orang”.[96] Dan ia menambahkan nasihat tentang cara menahan setan dalam jebakan : “Bergembiralah dalam kebaikan orang lain seolah-olah itu milikmu sendiri, dan berhasrat agar mereka lebih diutamakan daripada kamu dalam segala hal; ini yang seharusnya kamu lakukan dengan sepenuh hati. Dengan demikian kamu akan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, menghalau iblis, dan memiliki hati yang bahagia. Cobalah untuk semakin mengamalkan ini semua dengan orang-orang yang tidak menarik perhatianmu. Sadarilah bahwa jika kamu tidak melatih dirimu dengan cara ini, kamu tidak akan mencapai cinta kasih sejati atau membuat kemajuan apa pun di dalamnya”.[97]
118. Kerendahan hati hanya bisa berakar di dalam hati melalui kehinaan. Tanpa kehinaan, tidak ada kerendahan hati atau kekudusan. Jika kamu tidak dapat menderita dan menawarkan beberapa kehinaan, kamu tidak rendah hati dan kamu tidak berada di jalan menuju kekudusan. Kekudusan yang dianugerahkan Allah kepada Gereja-Nya datang melalui kehinaan Putra-Nya. Ia adalah jalan. Kehinaan membuatmu menyerupai Yesus; kehinaan adalah segi yang tak terhindarkan dari peneladanan Kristus. Karena “Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Ptr 2:21). Pada gilirannya, Ia mengungkapkan kerendahan hati Bapa, yang merendah untuk melakukan perjalanan dengan umat-Nya, menanggung ketidaksetiaan dan keluh-kesah mereka (bdk. Kel 34:6-9; Keb 11:23-12:2; Luk 6:36). Karena alasan ini, para Rasul, setelah menderita kehinaan, bergembira “karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus” (Kis 5:41).
119. Di sini saya tidak hanya sedang berbicara tentang situasi kemartiran belaka, tetapi tentang kehinaan sehari-hari dari mereka yang tinggal diam untuk menyelamatkan keluarga mereka, yang lebih suka memuji orang lain daripada membanggakan diri mereka sendiri, atau yang memilih tugas yang kurang diterima dengan senang hati, kadang-kadang bahkan memilih untuk menanggung ketidakadilan agar supaya mempersembahkannya kepada Tuhan. “Jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah” (1 Ptr 2:20). Ini tidak berarti berjalan dengan mata diturunkan, tidak mengucapkan sepatah kata pun dan melarikan diri dari keterkaitan dengan orang lain. Kadang-kadang, justru karena orang bebas dari keegoisan, ia dapat berani untuk tidak setuju dengan lembut, menuntut keadilan atau membela orang lemah di hadapan orang yang berkuasa, bahkan jika itu dapat membahayakan nama baiknya.
120. Saya tidak sedang mengatakan bahwa kehinaan seperti itu berkenan, karena itu akan menjadi masokisme, tetapi itu adalah cara meneladan Yesus dan bertumbuh dalam persatuan dengan-Nya. Hal ini tidak dapat dipahami pada tingkatan yang murni alamiah, dan dunia mengolok-olok gagasan semacam itu. Sebaliknya, rahmatlah yang harus diusahakan dalam doa : “Tuhan, ketika kehinaan datang, tolonglah aku untuk mengenal bahwa aku sedang mengikuti jejak langkah-Mu”.
121. Bertindak dengan cara ini mengandaikan hati yang diperdamaikan oleh Kristus, terbebas dari agresivitas yang lahir dari egoisme yang terlalu kuat. Kedamaian, buah rahmat yang sama itu, memungkinkan untuk mempertahankan keyakinan batin kita dan bertekun dalam kebaikan, “sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman”, (Mzm 23:4) atau “tentara berkemah mengepung aku” (Mzm 27:3). Berdiri teguh di dalam Tuhan, Sang Batu Karang, kita dapat menyanyikan : “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman” (Mzm 4:9). Kristus, dengan kata lain, “adalah damai sejahtera kita” (Ef 2:14); Ia datang “untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera” (Luk 1:79). Seperti ketika Ia memberitahu Santa Faustina Kowalska, “Manusia tidak akan memiliki kedamaian sampai ia berubah dengan percaya kepada kerahiman-Ku”.[98] Jadi jangan sampai jatuh ke dalam godaan mencari keamanan dalam keberhasilan, kesenangan yang sia-sia, harta, kekuasaan atas orang lain atau status sosial. Yesus berkata, ”Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu” (Yoh. 14:27).
[95] Ada beberapa bentuk bullying (=penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain-red) yang, meski tampak halus atau penuh hormat dan bahkan cukup rohaniah, menyebabkan kerusakan besar pada harga diri orang lain.
96] Precautions, 13.
[97] Idem., 13.
[98] Bdk. Catatan Harian. Kerahiman Ilahi dalam Jiwaku, Stockbridge, 2000, hlm. 139 (300).
Kategori:KATEKESE, Seruan Apostolik