Ideologi-ideologi menohok jantung Injil
100. Saya menyesalkan bahwa ideologi-ideologi membawa kita kadang-kadang kepada dua kesalahan yang berbahaya. Di satu sisi, ada kesalahan dari umat kristiani yang memisahkan tuntutan-tuntutan Injil ini dari hubungan pribadi mereka dengan Tuhan, dari persatuan batin mereka dengan-Nya, dari keterbukaan terhadap rahmat-Nya. Dengan demikian, kekristenan menjadi semacam lembaga swadaya masyarakat yang terlucuti dari mistisisme yang bercahaya yang begitu nyata dalam kehidupan Santo Fransiskus dari Asisi, Santo Vinsensius a Paulo, Santo Teresa dari Kalkuta, dan banyak lainnya. Bagi orang-orang kudus besar ini, justru sebaliknya, doa batin, kasih Allah dan bacaan Injil tidak akan mengurangi tanggung jawab mereka yang bergairah dan mendatangkan hasil terhadap sesama mereka.
101.Kesalahan ideologi berbahaya lainnya ditemukan pada orang-orang yang mencurigai keterlibatan sosial orang lain, melihatnya secara dangkal, duniawi, sekuler, materialis, komunis atau populis. Atau mereka menisbikannya, seolah-olah ada hal-hal lain yang lebih penting, atau satu-satunya hal yang diperhitungkan adalah satu masalah etika tertentu atau alasan yang mereka bela sendiri. Pembelaan kita terhadap bayi yang tidak berdosa, misalnya, harus jelas, tegas dan penuh gairah, karena yang dipertaruhkan adalah martabat kehidupan manusia, yang senantiasa sakral dan menuntut kasih untuk setiap orang, terlepas dari tahap perkembangannya. Tetapi, kehidupan orang-orang miskin, orang-orang yang baru lahir, fakir miskin, orang-orang yang terlantar dan kurang mampu, orang-orang lanjut usia yang rentan karena usia terbuka terhadap eutanasia secara tidak terang-terangan, korban perdagangan manusia, bentuk-bentuk baru perbudakan, dan setiap bentuk penolakan adalah sama-sama sakral.[84] Kita tidak dapat menjunjung tinggi cita-cita kekudusan yang sudi mengabaikan ketidakadilan di dunia di mana sebagian orang bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan mengabaikan dan hidup hanya untuk barang-barang konsumsi terbaru, bahkan ketika orang lain melihat dari kejauhan, menjalani seluruh hidup mereka dalam kemiskinan.
102. Kita sering mendengar dikatakan bahwa, sehubungan dengan relativisme dan cacat dunia kita sekarang, situasi para migran, misalnya, adalah masalah yang tidak penting. Beberapa umat Katolik menganggapnya sebagai masalah sekunder dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan bioetika yang “gawat”. Jika seorang politisi yang mencari suara mungkin mengatakan hal seperti itu dapat dimengerti, tetapi bukan orang kristiani, yang baginya satu-satunya sikap yang tepat adalah berdiri di atas sepatu saudara-saudari kita yang mempertaruhkan hidup mereka untuk menawarkan masa depan bagi anak-anak mereka. Bisakah kita tidak menyadari bahwa inilah tepatnya apa yang dituntut Yesus dari diri kita, ketika Ia mengatakan kepada kita bahwa dengan menyambut orang asing kita menyambutNya (bdk. Mat 25:35)? Santo Benediktus melakukannya dengan rela, dan meskipun itu mungkin telah “mempersulit” kehidupan para biarawannya, ia memerintahkan agar semua tamu yang mengetuk pintu biara disambut “seperti Kristus”,[85] dengan sikap hormat yang mendalam;[86] orang-orang miskin dan para peziarah harus diberi “perhatian dan kepedulian yang terbesar”.[87]
103. Pendekatan serupa ditemukan dalam Perjanjian Lama : “Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Kel 22:21). “Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir” (Im 19:33-34). Ini bukan gagasan yang diciptakan oleh beberapa Paus, atau kecenderungan sesaat. Di dunia saat ini juga, kita dipanggil untuk mengikuti jalan kebijaksanaan rohani yang ditawarkan oleh nabi Yesaya untuk memperlihatkan apa yang berkenan bagi Allah. “Supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar” (58:7-8). Ibadat yang paling mungkin diterima Allah.
104. Kita mungkin berpikir bahwa kita memberikan kemuliaan hanya kepada Allah dengan ibadat dan doa kita, atau hanya dengan mengikuti norma-norma etika tertentu. Memang benar bahwa keutamaan mencakup hubungan kita dengan Allah, tetapi kita tidak dapat melupakan bahwa kriteria utama yang padanya kehidupan kita akan dinilai adalah apa yang telah kita lakukan terhadap orang lain. Doa adalah yang paling berharga, karena setiap hari doa memelihara pelaksanaan untuk mengasihi. Penyembahan kita menjadi berkenan kepada Allah ketika kita mengabdikan diri untuk hidup dengan murah hati, dan memperkenankan karunia Allah, yang diberikan dalam doa, untuk ditunjukkan dalam kepedulian kita terhadap saudara dan saudari kita.
105. Demikian pula, cara terbaik untuk membedakan apakah doa kita otentik adalah untuk menilai sejauh mana kehidupan kita sedang diubah dalam terang belas kasih. Karena “belas kasih bukan hanya tindakan Bapa; belas kasih menjadi kriteria untuk memastikan siapa anak-anak-Nya yang sejati”.[88] Belas kasih “adalah landasan kehidupan Gereja yang sesungguhnya”.[89] Dalam hal ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa belas kasih tidak mengesampingkan keadilan dan kebenaran; memang, “kita harus mengatakan bahwa belas kasih adalah kepenuhan keadilan dan pengejawantahan yang paling cemerlang dari kebenaran Allah”.[90] Belas kasih adalah “kunci menuju surga”.[91]

Salah satu wujud belaskasih
106. Di sini saya memikirkan Santo Thomas Aquino, yang mempertanyakan manakah tindakan kita yang paling mulia, manakah karya lahiriah terbaik yang menunjukkan kasih kita kepada Allah. Tanpa ragu Thomas menjawab bahwa karya tersebut adalah karya belas kasih terhadap sesama kita,[92] bahkan melebihi tindakan ibadat kita : “Kita menyembah Allah dengan pengorbanan dan karunia lahiriah, bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan diri kita sendiri dan sesama kita. Karena Ia tidak membutuhkan pengorbanan kita, tetapi mengharapkan pengorbanan kita dipersembahkan kepada-Nya, untuk membangkitkan pengabdian kita dan memberi manfaat bagi sesama kita. Oleh karena itu, belas kasih, dengan cara tersebut kita membekali kekurangan orang lain, adalah pengorbanan yang lebih dapat diterima oleh-Nya, yang berakibat langsung bagi kesejahteraan sesama kita”.[93]
107. Orang-orang yang benar-benar ingin memberikan kemuliaan kepada Allah melalui hidup mereka, yang benar-benar mendambakan tumbuh dalam kekudusan, dipanggil untuk menjadi orang yang berpikiran tunggal dan teguh dalam mengamalkan karya-karya belas kasih mereka. Santa Teresa dari Kalkuta jelas menyadari hal ini : “Ya, aku memiliki banyak kesalahan dan kegagalan manusiawi … Tetapi Allah membungkuk dan mempergunakan diri kita, kamu dan aku, untuk menjadi kasih-Nya dan belas kasih-Nya di dunia; Ia menanggung dosa kita, kesulitan kita dan kesalahan kita. Ia mengandalkan diri kita untuk mengasihi dunia dan menunjukkan betapa Ia mengasihinya. Jika kita terlalu peduli pada diri sendiri, kita tidak akan punya waktu tersisa untuk orang lain”.[94]
108. Hedonisme dan konsumerisme dapat membuktikan kehancuran kita, karena ketika kita terobsesi dengan kesenangan kita sendiri, kita akhirnya menjadi terlalu peduli akan diri kita dan hak-hak kita, serta kita merasa membutuhkan waktu luang untuk menikmati diri kita. Kita akan kesulitan untuk merasakan dan menunjukkan perhatian nyata apapun bagi orang-orang yang membutuhkan, kecuali kita mampu menumbuhkan kesederhanaan hidup tertentu, menolak tuntutan yang menggelisahkan dari sebuah masyarakat konsumen, yang membuat kita miskin dan tidak puas, ingin memiliki semuanya sekarang. Demikian pula, ketika kita membiarkan diri kita terperangkap dalam informasi yang dangkal, komunikasi yang seketika itu juga dan kenyataan virtual, kita dapat membuang waktu yang berharga dan menjadi acuh tak acuh terhadap tubuh saudara-saudari kita yang sedang menderita. Tetapi bahkan di tengah-tengah pusaran kegiatan ini, Injil terus bergema, menjanjikan kepada kita sebuah kehidupan yang berbeda, sebuah kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia.
* * *
109. Kesaksian yang kuat dari para kudus terungkap dalam kehidupan mereka, dibentuk oleh Sabda Bahagia dan kriteria penghakiman terakhir. Kata-kata Yesus singkat dan lugas, namun mudah dilaksanakan dan berlaku untuk semua orang, karena kekristenan dimaksudkan terutama untuk diamalkan. Kekristenan juga bisa menjadi sasaran studi dan permenungan, tetapi semata-mata membantu kita menghayati Injil dengan lebih baik dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya menganjurkan untuk membaca ulang teks-teks biblis yang luar biasa ini secara teratur, merujuk kembali kepada teks-teks biblis tersebut, berdoa bersama teks-teks biblis tersebut, mencoba mewujudkannya. Teks-teks biblis tersebut akan memberi manfaat bagi kita; teks-teks biblis tersebut akan sungguh-sungguh membahagiakan kita.
[84] Sidang Umum V Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, menggemakan ajaran Gereja yang terus-menerus, menyatakan bahwa manusia “selalu sakral, sejak dari kandungan mereka, dalam seluruh tahapan kehidupan, sampai kematian yang mereka alami, dan setelah kematian”, dan bahwa kehidupan harus dijaga “sejak dari kandungan, dalam seluruh tahapannya, sampai kematian alamiah” (Dokumen Aparecida, 29 Juni 2007, 388; 464).
[85] Peraturan, 53, 1: PL 66, 749.
[86] Bdk. idem., 53, 7: PL 66, 750.
[87] Idem., 53, 15: PL 66, 751.
[88] Bulla Misericordiae Vultus (11 April 2015), 9: AAS 107 (2015), 405.
[89] Idem., 10, 406.
[90] Seruan Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia (19 Maret 2016), 311: AAS 108 (2016),
439.
[91] Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 197: AAS 105 (2013),
1103.
[92]Bdk. Summa Theologiae, II-II, q. 30, a. 4.
[93]Idem., ad 1.
[94]Dikutip (dalam terjemahan bahasa Spanyol) dalam : Cristo en los Pobres, Madrid, 1981,
37-38.
Kategori:KATEKESE, Seruan Apostolik