“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”
90. Yesus sendiri memperingatkan kita bahwa jalan yang Ia tawarkan melawan arus, bahkan membuat kita menantang masyarakat dengan cara hidup kita dan, sebagai hasilnya, menjadi sebuah gangguan. Ia mengingatkan kita berapa banyak orang telah, dan masih, dianiaya hanya karena mereka berjuang untuk keadilan, karena mereka sungguh-sungguh bertanggung jawab kepada Allah dan kepada sesama. Kecuali kita ingin tenggelam dalam keadaan biasa-biasa saja, marilah kita tidak mendambakan sebuah kehidupan yang mudah, karena “barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” (Mat 16:25).
91. Dalam menghayati Injil, kita tidak dapat mengharapkan bahwa segala sesuatu akan mudah, karena rasa haus akan kekuasaan dan kepentingan duniawi sering menghalangi jalan kita. Santo Yohanes Paulus II mencatat bahwa “suatu masyarakat menjadi terasing jika bentuk-bentuk organisasi sosial, produksi dan konsumsinya menjadikannya semakin sulit untuk menawarkan karunia diri dan membangun kesetiakawanan di antara orang-orang”.[78] Dalam masyarakat seperti itu, politik, komunikasi massa dan lembaga ekonomi, budaya dan bahkan keagamaan menjadi begitu terjerat sehingga menjadi penghalang bagi pengembangan manusia dan sosial yang otentik. Akibatnya, Sabda Bahagia tidak mudah untuk dihayati; upaya apapun yang dilakukan akan dipandang negatif, dipandang dengan kecurigaan, dan menemui ejekan.
92. Keletihan dan penderitaan apapun yang mungkin kita alami dalam menjalankan perintah kasih dan mengikuti jalan keadilan, salib tetap menjadi sumber pertumbuhan dan pengudusan kita. Kita tidak boleh lupa Perjanjian Baru mengatakan kepada kita bahwa kita harus menanggung penderitaan demi Injil, Perjanjian Baru tepat sekali berbicara tentang penganiayaan (bdk. Kis 5:41; Flp 1:29; Kol 1:24; 2Tim 1: 12; 1 Ptr 2:20,4:14-16; Why 2:10).
93. Di sini kita berbicara tentang penganiayaan yang tidak dapat dihindari, bukan semacam penganiayaan yang mungkin kita timpakan kepada diri kita sendiri oleh perlakuan buruk kita terhadap orang lain. Orang-orang kudus tidak aneh-aneh dan tersendiri, tak tertahankan oleh karena kesombongan, negativitas dan kepahitan mereka. Rasul-rasul Kristus tidak seperti itu. Kisah Para Rasul menyatakan berulang kali bahwa mereka disukai “semua orang” (2:47; bdk. 4:21.33;5:13), bahkan ketika beberapa penguasa melecehkan dan menganiaya mereka (bdk 4:1-3,5:17-18).
94. Penganiayaan bukanlah kenyataan masa lalu, karena hari ini juga kita mengalaminya, entah dengan penumpahan darah, seperti halnya dengan begitu banyak martir masa kini, atau dengan cara yang lebih halus, dengan fitnah dan kebohongan. Yesus menyebut kita berbahagia ketika orang-orang “mencela dan menganiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat. 5:11). Di lain waktu, penganiayaan dapat berupa olok-olok yang mencoba membuat karikatur iman kita dan membuat kita tampak konyol.
Menerima setiap hari jalan Injil, meskipun itu dapat menyebabkan masalah bagi kita : itulah kekudusan.
[78] Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 41c: AAS 81 (1993), 844-845.
Kategori:KATEKESE, Seruan Apostolik