PELAGIANISME MASA KINI
- Gnostisisme memberi jalan kepada bidaah lainnya, yang juga hadir di zaman kita. Seiring berjalannya waktu, banyak yang menyadari bahwa bukan pengetahuan yang menjadikan kita lebih baik atau menjadikan kita orang kudus, tetapi jenis kehidupan yang kita jalani. Tetapi ini secara tidak kentara memunculkan kembali kesalahan lama kaum gnostik, yang hanya berubah bentuk, bukan malahan lenyap.
- Kekuatan yang sama yang dikaitkan kaum gnostik dengan kaum intelek, kaum lainnya sekarang mulai mengaitkan dengan kehendak manusia, dengan usaha pribadi. Inilah persoalan dengan kaum pelagian dan kaum semi-pelagian. Sekarang bukan kecerdasan yang menggantikan misteri dan rahmat, tetapi kehendak manusiawi kita. Segala sesuatunya “tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah” (Rm 9:16) dan “Ia lebih dahulu mengasihi kita” (bdk. 1 Yoh 4:19) sudah terlupakan.
Kehendak tanpa kerendahan hati
- Orang-orang yang mengalah pada pola pikir pelagian atau semi pelagian ini, meskipun mereka berbicara adem tentang rahmat Allah, “akhirnya hanya percaya kepada kekuatannya sendiri sehingga merasa lebih tinggi daripada orang lain, karena menaati peraturan-peraturan tertentu atau tetap setia kepada gaya Katolik yang khusus”.[46] Ketika beberapa dari mereka mengatakan kepada orang yang lemah bahwa semua hal dapat dicapai dengan rahmat Allah, jauh di lubuk hati mereka cenderung untuk memberikan gagasan bahwa segala sesuatu dimungkinkan oleh kehendak manusiawi, seolah-olah itu adalah sesuatu yang murni, sempurna, mahakuasa, yang kepadanya rahmat kemudian ditambahkan. Mereka gagal untuk menyadari bahwa “tidak semua orang dapat melakukan segalanya”,[47] dan bahwa dalam kehidupan ini kelemahan manusia tidak sepenuhnya disembuhkan dan segera sesudahnya karena seluruhnya oleh rahmat.[48] Dalam setiap persoalan, seperti diajarkan oleh Santo Agustinus, Allah memerintahkan kamu untuk melakukan apa yang kamu bisa lakukan dan meminta apa yang tidak dapat kamu lakukan, [49] dan sungguh berdoa kepada-Nya dengan rendah hati: “Anugerahkanlah apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkanlah apa yang akan kamu lakukan”.[50]
- Pada akhirnya, tidak adanya pengakuan yang tulus dan penuh doa akan keterbatasan kita menghalangi rahmat semakin bekerja lebih efektif di dalam diri kita, karena tidak ada ruang tersisa untuk mendatangkan kebaikan potensial yang merupakan bagian dari perjalanan pertumbuhan yang tulus dan sungguh-sungguh.[51] Rahmat, justru karena ia dibangun di atas kodratnya, tidak sekaligus menjadikan kita manusia unggul. Pemikiran seperti itu akan menunjukkan terlalu percaya pada kemampuan kita sendiri. Di bawah ortodoksi kita, sikap kita mungkin tidak sesuai dengan pembicaraan kita tentang perlunya rahmat, dan dalam situasi tertentu kita akhirnya hanya menaruh sedikit kepercayaan di dalamnya. Kecuali kita dapat mengenali situasi kita yang nyata dan terbatas, kita tidak akan dapat melihat langkah nyata dan mungkin yang dituntut Tuhan dari kita setiap saat, segera setelah kita tertarik dan diberdayakan oleh karuniaNya. Rahmat bertindak dalam sejarah; biasanya rahmat tersebut menguasai kita dan mengubah kita tahap demi tahap.[52] Jika kita menolak kenyataan sejarah dan tahap demi tahap ini, kita benar-benar dapat menolak dan menghalangi rahmat, bahkan saat kita mendewakannya dengan kata-kata kita.
Ketika Tuhan berbicara kepada Abraham, Ia mengatakan kepadanya : “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:1). Agar tidak bercela, sebagaimana yang Ia inginkan terhadap kita, kita harus hidup dengan rendah hati di hadapan-Nya, berselubungkan kemuliaan-Nya; kita harus berjalan dalam persatuan dengan-Nya, mengenali kasih-Nya langgeng dalam kehidupan kita. Kita harus menghilangkan rasa takut kita di hadapan kehadiran-Nya yang hanya bisa untuk kebaikan kita. Allah adalah Bapa yang memberi kita kehidupan dan sangat mengasihi kita. Begitu kita menerima Dia, dan berhenti berusaha menjalani kehidupan kita tanpa Dia, kesedihan akibat kesepian akan lenyap (bdk. Mzm 139:23-24). Dengan cara ini kita akan memahami kehendak Tuhan yang sempurna dan berkenan (bdk. Rm 12:1-2) serta memungkinkan Dia untuk membentuk kita seperti seorang tukang periuk (bdk. Yes 29:16). Seringkali kita mengatakan bahwa Allah tinggal di dalam diri kita, tetapi lebih baik mengatakan bahwa kita tinggal di dalam diri-Nya, sehingga Ia memampukan kita untuk tinggal dalam terang dan kasih-Nya. Dialah bait suci kita; kita meminta untuk tinggal di rumah Tuhan sepanjang hidup kita (bdk. Mzm 27:4). “Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain” (Mzm 84:11). Di dalam Dialah kekudusan kita.
[46] Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 94: AAS 105 (2013), 1059.
[47] Bdk. Bonaventura, De sex alis Seraphim, 3, 8: “Non omnes omnia possunt”. Frasa ini harus dipahami sejalan dengan Katekismus Gereja Katolik, 1735.
[48] Bdk. THOMAS AQUINAS, Summa Theologiae II-II, q. 109, a. 9, ad 1: “Tetapi di sini, rahmat sampai tingkat tertentu tidak sempurna, karena itu tidak sepenuhnya menyembuhkan manusia, seperti yang telah kami katakan”.
[49] Bdk. De natura et gratia, 43, 50: PL 44, 271.
[50] Pengakuan-pengakuan, X, 29, 40: PL 32, 796.
[51] Bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 44: AAS 105 (2013), 1038.
[52] Dalam pemahaman iman kristiani, rahmat mendahului, menyertai dan mengikuti seluruh tindakan kita (bdk. KONSILI EKUMENIS TRENTE, Sesi VI, Dekrit tentang Pembenaran, bab 5: DH 1525).
Kategori:KATEKESE, Seruan Apostolik