Ajaran tanpa misteri
- Gnostisisme adalah salah satu ideologi yang paling mengancam karena, seraya terlalu mengagungkan pengetahuan atau pengalaman tertentu, Gnostisisme menganggap sempurna daya pandangnya terhadap kenyataan. Oleh karena itu, mungkin tanpa disadari, ideologi ini memakan dirinya sendiri dan bahkan menjadi semakin rabun. Gnostisisme bisa semakin menjadi khayalan ketika bertopengkan spiritualitas tanpa tubuh. Karena gnostisisme “oleh kodratnya berusaha untuk menjinakkan misteri”,[38] entah misteri Allah dan rahmat-Nya, entah misteri kehidupan orang lain.
- Ketika seseorang memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan, tandanya mereka tidak berada di jalan yang benar. Mereka mungkin adalah nabi-nabi palsu, yang menggunakan agama untuk tujuan mereka sendiri, untuk mempromosikan teori-teori psikologi atau intelektual mereka sendiri. Allah jauh melampaui kita; Ia penuh dengan kejutan. Kita bukan orang-orang yang menentukan kapan dan bagaimana kita akan berjumpa dengan-Nya; waktu dan tempat yang pasti dari perjumpaan itu tidak tergantung pada kita. Seseorang yang ingin segalanya menjadi jelas dan pasti memberanikan diri untuk mengendalikan transendensi Allah.
- Kita juga tidak bisa mengatakan di mana tidak ada Allah, karena Allah secara misterius hadir dalam kehidupan setiap orang, dengan cara yang dipilih-Nya sendiri, dan kita tidak dapat mengecualikan hal ini dengan kepastian-kepastian yang kita kira. Bahkan ketika kehidupan seseorang benar-benar hancur, bahkan ketika kita melihatnya dihancurkan oleh sifat buruk atau kecanduan, Allah hadir di sana. Jika kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh ketimbang prasangka-prasangka kita sendiri, kita dapat dan harus berusaha menemukan Tuhan dalam setiap kehidupan manusia. Inilah bagian dari misteri yang tidak dapat diterima mentalitas gnostik, karena itu di luar kendalinya.
Keterbatasan Akal Budi
Tidak mudah untuk memegang erat kebenaran yang telah kita terima dari Tuhan. Dan bahkan lebih sulit mengungkapkannya. Jadi kita tidak dapat menuntut bahwa cara kita memahami kebenaran ini memberi kita kewenangan untuk melakukan pengawasan ketat atas kehidupan orang lain. Di sini saya akan mencatat bahwa di dalam Gereja diakui terdapat berbagai cara menafsirkan banyak segi ajaran dan kehidupan kristiani yang hidup berdampingan; dalam keanekaragamannya, cara-cara tersebut “menolong untuk mengungkapkan dengan lebih jelas kekayaan sabda Allah yang luar biasa”. Memang benar bahwa “bagi mereka yang merindukan ajaran yang utuh tentang Allah yang Esa yang dikawal dan dijaga sedemikian rupa sehingga tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk pembiasan, yaitu ajaran yang kabur dan tak sempurna”.[39] Memang, beberapa aliran gnostisisme mencela kesederhanaan nyata dari Injil dan berusaha untuk menggantikan Allah Tritunggal yang menjelma dengan Kesatuan yang unggul, di mana kekayaan keragaman sejarah kita lenyap.
- Sebenarnya, ajaran, atau lebih baik, pemahaman dan ungkapan kita terhadap ajaran tersebut, “bukanlah sistem tertutup, tanpa kemampuan dinamis untuk mengajukan pertanyaan, keraguan, pemeriksaan … Pertanyaan umat kita, penderitaan mereka, perjuangan mereka, mimpi mereka, pencobaan mereka, dan kekhawatiran mereka, semuanya memiliki nilai tafsir yang tidak dapat kita abaikan jika kita ingin mengambil prinsip penjelmaan dengan sungguh-sungguh. Rasa penasaran mereka membantu kita untuk bertanya-tanya, pertanyaan mereka menanyai kita”.[40]
- Kebingungan yang membahayakan dapat muncul. Kita dapat berpikir bahwa karena kita mengetahui sesuatu, atau mampu menjelaskannya dalam istilah-istilah tertentu, kita sudah menjadi orang kudus, sempurna dan lebih baik daripada “orang-orang bodoh”. Santo Yohanes Paulus II memperingatkan tentang godaan pada pihak umat dalam Gereja yang berpendidikan lebih tinggi yang “merasa lebih baik dari umat lainnya”.[41] Kenyataannya, apa yang kita pikirkan kita pahami seharusnya selalu memotivasi kita untuk semakin penuh menanggapi kasih Allah. Memang, “kamu belajar untuk menghayati : teologi dan kekudusan tidak dapat dipisahkan”.[42]
- Ketika Santo Fransiskus dari Asisi melihat bahwa beberapa muridnya terlibat dalam pengajaran, ia ingin menghindari godaan kepada gnostisisme. Ia menulis kepada Santo Antonius dari Padua : “Aku senang karena kamu mengajarkan teologi suci kepada saudara-saudari, asalkan … kamu tidak memadamkan semangat doa dan devosi selama belajar semacam ini”.[43] Santo Fransiskus mengenali godaan untuk mengubah pengalaman kristiani menjadi serangkaian latihan kecerdasan yang menjauhkan kita dari kesegaran Injil.
Santo Bonaventura, di sisi lain, menunjukkan bahwa kebijaksanaan kristiani sejati tidak akan pernah dapat terpisahkan dari kerahiman terhadap sesama kita : “Kebijaksanaan yang mungkin paling luar biasa adalah berbagi secara bermanfaat apa yang harus kita berikan … Bahkan ketika kerahiman adalah sejawat dari kebijaksanaan, keserakahan adalah musuhnya”.[44] “Ada kegiatan-kegiatan yang, dipersatukan dengan kontemplasi, tidak menghalangi kebijaksanaan, tetapi semakin memfasilitasinya, seperti karya kerahiman dan devosi”.[45]
[38] Bdk. Surat kepada Kepala Perwakilan Universitas Katolik Kepausan Argentina dalam rangka Seratus Tahun Berdirinya Fakultas Teologi (3 Maret 2015) : L’Osservatore Romano, 9-10 Maret 2015, hlm. 6.
[39] Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 40: AAS 105 (2013), 1037.
[40] Pesan video kepada para peserta dalam Kongres Teologi Internasional yang diadakan di Universitas Katolik Kepausan Universitas Argentina (1-3 September 2015) : AAS 107 (2015), 980.
[41] Seruan Apostolik Pasca-Sinode Vita Consecrata (25 Maret 1996), 38: AAS 88 (1996), 412.
[42] Surat kepada Ketua Yayasan Universitas Katolik Kepausan Argentina dalam rangka 100 tahun berdirinya Fakultas Teologi (3 Maret 2015) : L’Osservatore Romano, 9-10 Maret 2015, hlm. 6.
[43] Surat kepada Saudara Antonius, 2: FF 251.
[44] De septem donis, 9, 15.
[45] In IV Sent. 37, 1, 3, ad 6.
Kategori:KATEKESE, Seruan Apostolik