“Sukacita kasih yang dialami para keluarga juga merupakan sukacita Gereja” (Amoris Laetitia, 1). Kalimat pembuka dari Seruan Apostolik “Sukacita Kasih’ mengingatkan kita akan kalimat pertama dari “Gaudium et Spes”, “Kegembiraan dan Harapan”, salah satu dokumen Konsili Vatikan II (1965). Dokumen ini dibuka dengan kata-kata: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka” (Gaudium et Spes, 1). Kata-kata ini sangat sesuai dengan hati mereka, yang ingin mengikuti cara hidup menurut hati dalam kehidupan sehari-hari. Dalam refleksi-refleksinya tentang hidup keluarga dalam masyarakat dewasa ini, Paus Fransiskus juga sungguh-sungguh menaruh simpati pada kebahagiaan, pergumulan dan penderitaan umat manusia. Kenyataannya, dalam ‘Amoris Laetitia” (AL) Sri Paus menyajikan suatu Spiritualitas Hati bagi keluarga-keluarga.
Sri Paus sungguh sadar akan kenyataan bahwa dalam kehidupan riil keluarga-keluarga tercampur sukacita, harapan, duka dan kegelisahan. Semua pengalaman manusiawi ini bergema dalam hatinya dan melahirkan jawaban berupa belas kasih dan bela rasa. Menurut Paus, cara hidup Gereja adalah cara hidup Yesus, yakni cara hidup berbelas kasih dan berbela rasa. Bagi Paus Fransiskus ‘belas kasih’ dan ‘bela rasa’ bukan hanya perasaan-perasaan kasihan atas penderitaan seseorang. ‘Belas kasih’ dan ‘bela rasa’ diwujudkan dengan sungguh-sungguh peduli pada kesedihan dan kesusahan, serta juga dengan menunjukkan solidaritas, pendampingan dan perhatian, sedapat mungkin dan bila dibutuhkan.
Sri Paus punya kepedulian terhadap seluruh umat manusia. Ia melihat umat manusia sebagai satu keluarga, di mana Allah mengharapkan kita untuk memperlakukan “setiap orang sebagai saudara-saudari” (AL, 183). Dalam keluarga sedunia ini Gereja diutus untuk menjadi “ibu yang senantiasa menyambut mereka (anak-anaknya), yang merawat mereka dengan kasih sayang dan meneguhkan mereka sepanjang jalan kehidupan dan jalan Injil” (AL, 299), “bahkan jika menghadapi risiko menjadi kotor oleh lumpur jalanan” (AL, 308). “Ini adalah soal menjangkau setiap orang, yang harus dibantu menemukan jalannya sendiri untuk ambil bagian dalam komunitas Gereja” (AL, 297). Dengan berbuat demikian, Sri Paus menekankan agar kita membiarkan mereka mengalami “dijamah oleh belas kasih yang tidak semestinya diberikan, tanpa syarat dan cuma-cuma” (AL, 297).
Saat Untuk Refleksi
“Dalam menghadapi berbagai situasi
yang mempengaruhi keluarga-keluarga
Gereja diutus untuk mewartakan kerahiman Allah,
jantung Injil yang berdetak,
yang dengan caranya sendiri
harus menembus pikiran dan hati setiap orang.
Gereja tahu bahwa Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Gembala,
dari seratus domba, bukan hanya sembilan puluh sembilan.
Ia mengasihi mereka semua.
Kita tidak dapat melupakan bahwa
belas kasihan bukan hanya tindakan Bapa;
melainkan itu menjadi kriteria untuk memastikan
siapa anak-anak-Nya yang sesungguhnya.
Pendek kata, kita diajak untuk menunjukkan belas kasihan,
karena belas kasihan telah terlebih dahulu
ditunjukkan kepada kita …
Karena kerahiman adalah fondasi hidup Gereja sendiri…..
Gereja bukanlah pabean melainkan rumah Bapa,
di mana ada tempat bagi setiap orang,
dengan segala permasalahan hidup mereka.
(Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, 309; 310).
Kategori:Kursus Spiritualitas Hati Online, RENUNGAN