Perjalanan iman di awal bulan Suro
Kamis Wage, 1 Suro 1951 (Tanggal Jawa) atau 1 Muharam 1439 (Tanggal Hijriah) atau 21 September 2017 (Tanggal Masehi), dini hari (jam 02.10), 57 orang warga Lingkungan St. Lusia Paroki St. Yosep Purwokerto bersama Pastor Pendamping memulai perjalanan peziarahan ke Sendangsono, dan rekreasi di Tebing Breksi dan di Wisata Alam Mangrove Kulon Progo Yogyakarta. Perjalanan diawali dengan memeriksa kelengkapan kehadiran peserta, kelengkapan perbekalan dan doa mohon keselamatan untuk perjalan ziarah dan rekreasi kami.
Sepanjang perjalanan dari Purwokerto ke Sendangsono, di dalam bus yang melaju dengan kecepatan sedang, kami berkoordinasi dan berbagi tugas untuk kelancaran kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan sepanjang peziarahan dan rekreasi. Selebihnya, kami menikmati hidangan yang sudah disiapkan oleh panitia dan berbagai makanan ringan yang dibagikan oleh para peserta untuk peserta yang lain. Kami juga menyempatkan diri untuk mengunjungi berbagai tempat buang air (toilet) dan beristirahat sejenak. Kami menamai kegiatan ini sebagai Wisata Toilet. Ada saat di sepanjang perjalanan ini kami mengalami keheningan. Mungkin dalam keheningan ini kami sedang merenungkan makna peziarahan pada Satu Suro ini atau mungkin tidur.
Tiba di Gereja Paroki Boro, Kulon Progo , kami turun untuk berganti naik angkutan mini bus menuju ke Kompleks Peziarahan Gua Maria Lourdes Sendang Sono. Di warung rumah warga dekat Sendangsono kami mempersiapkan diri, membersihkan diri dan berganti pakaian, bersiap untuk mengikuti Perayaan Ekaristi dan berdoa bersama Bunda Maria di Gua Maria Lourdes Sendangsono.
Dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Romo A. M. Kristiadji Rahardjo MSC, kami merayakan Pesta Santo Mateus Rasul dan Penginjil. Dalam homilinya Romo mengajak kami untuk bersyukur atas perjalananan sejarah iman Katolik di tanah Jawa yang berawal dari pembaptisan 171 orang di Sendangsono dan kemudian tersebar ke seluruh pelosok tanah air. Kita juga diajak untuk merawat, menjaga atau melestarikan iman kekatolikan kita. Dan sesuai teladan Santo Matius, Rasul dan Penulis Injil, kita pun diajak untuk menjadi rasul-rasul masa kini di tengah arus zaman gaya hidup modern. Buah-buah dari peziarahan mesti bisa dinikmati oleh keluarga, lingkungan, paroki dan masyarakat.
Setelah Ekaristi kami masing-masing masih berdiam diri untuk berdoa pribadi. Kami mohon bantuan bunda Maria agar mampu bersyukur atas anugerah iman Katolik yang menyelamatkan ini. Kami juga mohon kepada Bunda Maria agar beliau membantu kami dalam menjaga, merawat dan melestarikan iman kami. Dan tentu juga kami mohon kepada bunda Maria agar mendoakan kami orang yang berdosa ini, agar pantas menjadi rasul-rasul masa kini, menjadi saksi-saksi Injil di tengah-tengah masyarakat.
Acara selanjutnya, yang sedikit mengganggu keheningan suasana di area peziarahan, adalah acara foto-foto, entah foto-foto pribadi maupun foto berkelompok dan acara makan pagi. Kami menikmati sarapan nasi gudeg, ditambah makanan khas Sendangsono, geblek dan tempe benguk. Setelah selesai segala kegiatan di Sendangsono, kami melanjutkan perjalanan kami ke Tebing Breksi, Kab. Sleman Yogyakarta.
Kokoh dan indahnya iman dalam kehidupan

Warga Lingkungan St Lusia berfoto bersama di Tebing Breksi (21/09/2017/foto by herdyan)
Di Tebing Breksi kami menikmati pemandangan bukit batu kapur, yang tampak kokoh dan keras namun indah. Di berbagai sisi tebing tampak bekas-bekas irisan penambangan, tetapi juga ada relief dan ukir-ukiran yang dipahat di dinding-dinding tebing. Kendati panas terik matahari pkl 12.00 menyengat, kami tetap mendaki ke puncak bukit untuk melihat Kota Jogja dari atas bukit dan berfoto-ria di berbagai zona foto yang dilengkapi dengan berbagai property untuk berfoto. Setelah puas mengamati berbagai sudut tebing dan berfoto, kami berteduh, melepas lelah di warung yang banyak berjajar di sekitar tebing. Sambil ngopi, ngeteh atau minum-minuman kemasan kami berteduh, melepas lelah dengan tetap memandangi kokoh-kuatnya Tebing Breksi dengan segala keindahannya. Dengan memandangi kokoh-indahnya Tebing Breksi, kami pun berharap memiliki iman yang kokoh kuat dan memancarkan keindahan dalam perilaku nyata sehari-hari.

Jembatan gantung di Hutan Mangrove, hanya beberapa warga St. Lusia yang berani melintasinya
Sekitar jam 13.30 kami menyudahi wisata kami di Tebing Breksi dan bergegas ke Pusat oleh-oleh Jogja di Ambarketawang. Kemudian, perjalanan kami lanjutkan ke Wisata Alam Mangrove Jembatan Api-Api, Kulon Progo, DIY. Untuk bisa sampai di lokasi wisata alam Mangrove kami harus menggunakan mobil angkutan yang lebih kecil, maka kami berdiri berdesak-desakan naik mobil bak terbuka. Ada berbagai area yang bisa kami nikmati di Wisata Alam Mangrove, kami menyusuri hutan mangrove dengan titian jembatan bambu, menyusuri hutan mangrove dengan perahu wisata, dan menikmati keindahan Pantai Mangrove. Sambil duduk di atas pasir pantai, memandangi hamparan pasir dan luasnya Laut Selatan, ada diantara kami yang bermenung tentang arti peziarahan di Sendangsono, tebing Breksi dan di Wisata Alam Mangrove pada Satu Suro ini.
Menjaga dan melestarikan iman dengan saling berbagi
Kami bermenung tentang arti peziarahan kami pada Satu Suro ini yang tentu memiliki nilai-nilai rohani. Kalau pada satu suro Keraton Yogja dan Solo merawat benda-benda pusaka, maka melalui peziarahan inipun kami berusaha untuk menjaga, merawat dan melestarikan iman kami melalui ketekunan dalam Perayaan Ekaristi, mendengarkan pengajaran iman, dan berdoa dengan perantaraan Bunda Maria di Gua Maria Lourdes Sendangsono.
Kalau pada Satu Soro keluarga keraton membagikan nasi tumpeng sebagai ungkapkan syukur kepada Tuhan dengan berbagi kepada sesama, maka pada peziarahan Satu Suro ini kami pun mengungkapkan syukur kami kepada Tuhan dengan berbagi kepada sesama. Kami saling berbagi materi, berbagi sukacita, berbagi kasih sebagai saudara seiman tanpa memandang usia, status ekonomi, suku atau pun agama.

Menikmati keindahan alam pantai di sekitar hutan mangrove Jembatan Api-api Kulonprogo (21/09/2017/foto by herdyan)
Kalau pada Satu Suro, keluarga Keraton mengarak keliling pusaka untuk memberikan ketentraman secara psikologis kepada rakyatnya, kamipun berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendapatkan kedamaian rohani dan kesegaran jiwa. Kalau pada Satu Suro, keluarga keraton berusaha untuk menjaga kelestarian budaya, dengan meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang dianggap baik, kami keluarga Lingkungan Santa Lusia berusaha menjaga kelestarian iman kami dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan umat Katolik yang baik, antara lain dengan berziarah dan berdoa mohon bantuan Bunda Maria, Santo-Santa dan Para Kudus.
Refleksi bersama dan sharing pengalaman
Permenungan kami kiranya harus dihentikan, karena tanpa terasa hari mulai gelap. Sekitar pukul 17.45 kami meninggalkan Wisata Alam Mangrove dan melanjutkan perjalanan pulang ke Purwokerto. Setelah makan malam, di sebuah Rumah Makan di daerah Kebumen, di dalam bus yang melaju dengan tenang, kami mencoba untuk mengadakan evaluasi dan refleksi bersama atas perjananan ziarah dan rekreasi kami.
Salah seorang ibu mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada panitia serta para donator yang telah menyumbangkan dananya untuk terselenggaranya ziarah dan rekreasi ini, sehingga mereka yang tak memiliki dana cukup pun bisa ikutserta dalam kegiatan ini. Peserta lain mengungkapkan harapannya agar kebersamaan ini tidak hanya terjadi pada saat ziarah dan rekreasi tetapi dilanjutkan dalam kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan Lingkungan atau Paroki.

Cogan2 St. Lusia (foto by agata yanti)
Bapak calon Ketua Lingkungan pun mengungkapkan harapannya agar berkat kegiatan ziarah dan rekreasi ini keterlibatan warga Lingkungan Lusia dari usia anak, remaja, kaum muda dan dewasa semakin meningkat. Dan sebagai penutup acara evaluasi dan refleksi, Pastor pendamping menekankan tiga hal. Pertama, agar Orang Muda Katolik Lingkungan St. Lusia terlibat aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan. Kedua, agar kebiasaan baik saling berbagi dan saling membantu dalam kasih persaudaraan yang telah terjalin di Lingkungan St. Lusia dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Ketiga, agar tetap berbagi kebaikan, tetap membantu dan menyapa mereka yang sedang tidak aktif dalam mengikuti kegiatan Lingkungan, yang sedang sakit, mengalami kesulitan dan sebagainya.
Acara refleksi dan sharing kami akhiri dengan doa syukur atas kelancaran dan anugerah yang kami peroleh dalam kegiatan ziarah dan rekreasi ini. Perjalanan ziarah kami pun berakhir di Purwokerto sekitar jam 22.30 WIB. Kami pulang dengan gembira, penuh syukur dan semangat baru untuk menjalani peziarahan hidup di hari-hari mendatang.
Purwokerto, 22 September 2017
Penulis:

B. Purnomo (Warga Lingkungan St. Lusia)
Kategori:DINAMIKA, Dinamika Staling