Fenomena “budaya kematian” akibat kekeringan spiritualitas
Maraknya aksi kekerasan, korupsi, terungkapnya peredaran narkoba, praktek-praktek ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang tersaji di hadapan kita, baik secara langsung maupun lewat berbagi media. Berita-berita hoax, ujaran kebencian (hate speech) bernuansa SARA, radikalisme dan kekerasan verbal maupun visual di internet memenuhi ruang media sosial dan online.
Fenomena tersebut bisa kita sebut sebagai “budaya kematian”, yang merusak pribadi dan tatanan hidup bersama. Mengapa di tengah masyarakat kita yang dikenal sangat religius karena menganut agama, melakukan praktek-praktek ibadah dan kesalehan serta memiliki banyak tempat ibadah ini masih sering terjadi kebencian, kekerasan dan ketidakadilan baik di dunia maya maupun dunia nyata? Meskipun ada berbagai alasan ekonomis, politis, sosial dan sebagainya yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dan praktek-praktek ketidakadilan itu, namun sejatinya ada alasan yang lebih mendalam lagi. Rupanya gejala kekerasan dan segala praktek ketidakadilan itu merupakan gejala “sakit kronis” yang diidap masyarakat kita, yakni kekeringan spiritualitas. Kekeringan spiritualitas itu bahkan bisa menjadi bencana yang mengancam masyarakat kita bila tidak segera disadari dan diatasi.
Upaya nyata untuk mengatasi bencana kekeringan spiritualitas
Bagaimana “bencana kekeringan spiritualitas” yang menimbulkan “budaya kematian” itu dicegah dan diatasi? Itulah pertanyaan mendasar yang perlu dicari jawaban atau solusinya. Ada beberapa solusi yang dapat diambil untuk mengatasi bencana kekeringan spiritualitas ini.
1.Pemahaman spiritualitas dan religiositas
Spiritualitas (yang berasal dari kata dasar “spirit”= ruah, roh) adalah sebuah pengalaman akan kehadiran Roh (Yang Ilahi) yang menjadi daya dan menggerakan seluruh diri kita. Spiritualitas menjadi sebuah gaya hidup yang digerakkan Roh Allah. Maka seluruh cara mengada kita akan dijiwai oleh nilai-nilai atau keutamaan keilahian yang ditanamkan Allah di dalam diri kita. Seseorang yang memiliki spiritualitas mendalam, gaya hidupnya pasti digerakkan dan dijiwai oleh nilai-nilai tersebut. Dia peka dan mudah tergerak untuk mewujudkan nilai-nilai kasih, damai, kejujuran, keadilan dan penghargaan terhadap martabat manusia dan keutuhan ciptaan. Spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari religiositas yang merupakan pengalaman keterarahan, keterikatan dan relasi iman dengan Allah. Spiritualitas dan religiositas menjadi inti dari setiap agama. Yang inti adalah membentuk agama dengan keempat unsurnya: rumusan pengakuan iman (kredo/syahadat), tata peribadatan, aturan moral, dan struktur komunitas. Keempat unsur agama tersebut merupakan ungkapan dan perwujudan konkrit dari pengalaman spritualitas dan religiositas.
2. Refleksi untuk menemukan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan
Kita perlu melihat secara jernih ke dalam lubuk hati dan cara berada kita selama ini. Sejatinya dalam diri setiap orang sudah tertanam nilai-nilai keilahian dari Sang Pencipta, yakni kasih sayang, suka damai, adil, ketakwaan, kejujuran, persaudaraan, saling menghargai, peduli pada alam dan lain-lain. Itulah nilai-nilai ilahi yang mengangkat kita sebagai manusia bermartabat dan berakhlak moral tinggi. Di mana kita bisa menemukan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan itu? Agama dan budaya menjadi tempat lahirnya nilai-nilai religius-spiritual dan kemanusiaan. Agama dan budaya telah menemukan nilai-nilai itu dari pewahyuan (Kitab Suci), tradisi yang dihidupi oleh komunitas keagamaan dan masyarakat, dan merumuskannya dalam ajaran, tata nilai (norma) dan aturan konkrit. Persoalannya, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar sudah tertanam dan mewujud dalam cara hidup (pikiran, perasaan dan tindakan) kita? Pertanyaan lebih lanjut, apakah cara beragama kita sungguh sudah otentik, atau hanya sekedar formalitas? Pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya dalam upaya yang ketiga.
3. Penanaman nilai-nilai dalam keluarga, komunitas agama dan institusi pendidikan
Ketiga institusi itu menjadi tempat penting dan mempunyai peran utama dalam menanamkan nilai-nilai religius-spiritual. Menjadi tempat penting karena setiap pribadi berinteraksi dan bertumbuh di dalam dan bersama keluarga, komunitas agama dan sekolah. Sedangkan peran penting ketiga institusi itu adalah mengajarkan, membiasakan dan meneladankan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap awal kehidupan atau usia dini, nilai-nilai itu diwariskan lewat pengajaran dan pembiasaan dalam praktek hidup sehari-hari (bandingkan Sekelumit Kisah Gadis SMA Bernama Afi Faradisa Menulis ‘Agama Warisan’). Secara bertahap seiring pertambahan usia dan tingkat pendidikannya, seorang pribadi tidak menerimanya begitu saja, namun terus belajar memahami dan membatinkannya, sampai akhirnya bisa melakukannya dengan penuh kesadaran dan kemauan (kehendak). Keluarga, komunitas agama dan institusi pendidikan yang baik menjadi tempat subur bagi tertanamnya nilai-nilai tersebut dan tumbuhnya pribadi-pribadi yang bermoral dan berbudaya.
4. Bergeser dari praktek hidup beragama yang formalistis ke penghayatan yang otentik
Kedalaman spiritualitas seseorang tidak cukup diukur dari praktek ritual, simbol-simbol dan praktek formal keagamaan lainnya, namun sungguh nyata dalam seluruh kehidupan sehari-hari. Ukurannya adalah keselarasan sikap, pandangan, tutur kata dan tindakan yang membentuk gaya hidupnya dengan hidup keagamaan dan nilai-nilai religius-spiritual. Realitas hidup sehari-hari menjadi medan nyata yang menguji sekaligus mengasah spiritualitas seseorang. Celakanya, cara beragama kita, sering kali terpisah, tidak sejalan atau bahkan terasing dari cara hidup kita di tengah realitas hidup sehari-hari. Praktek hidup beragama tidak sungguh menyentuh kedalaman diri dan tidak mampu menuntun pikiran, perasaan dan tindakan kita saat dihadapkan pada realitas hidup sehari-hari. Kenyataan hidup yang terkadang berat dan penuh tantangan sering membuat kita lupa, terlena, bahkan tak berdaya untuk mewujudkan nilai-nilai spiritual secara nyata. Sebagai contoh, baru selesai beribadat orang bisa menghujat yang lain, tidak peduli pada sesama yang lemah dan miskin. Atas nama agama, orang bisa digerakkan oleh berbagai kepentingan sesaat untuk melakukan kekerasan terhadap yang lain padahal setiap agama mengajarkan kasih sayang, adil, damai, menghormati sesama dan lain-lain. Itulah contoh realitas yang disebut sebagai formalisme agama, yakni praktek hidup beragama yang kaku, formal dan terlalu menekankan hal-hal lahiriah-intitusional.
Formalisme agama tidak akan efektif memberikan jawaban atau tuntunan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan beragama (pengajaran iman, doa, ritual keagamaan, simbol-simbol, aturan moral dan tata kelola komunitas agama) mestinya dihayati secara otentik, yakni sebagai ungkapan dari nilai-nilai religius spiritual yang sudah tertanam dalam diri dan perwujudannya dalam sikap serta tindakan sehari-hari.
5. Terus menerus memperdalam spiritualitas dan religiositas
Upaya nyata yang menjadi keniscayaan adalah terus memperdalam spiritualitas dan religiositas karena kita hidup di tengah jaman yang berubah begitu cepatnya. Kemampuan refleksi dan ketrampilan untuk mengimplementasikan nilai-nilai religius spiritual di tengah realitas hidup sehari-hari sungguh perlu terus diasah. Pesan atau nilai yang diajarkan mesti dikontekstualisasikan agar tetap relevan dan mampu menjawab persoalan, kebutuhan serta harapan orang pada jamannya. Penanaman nilai-nilai spiritual dan religius mesti menjadi fokus perhatian dan upaya setiap pribadi, keluarga, sekolah dan komunitas umat beragama.
Kesimpulan
“Bencana kekeringan spiritualitas” yang menyebabkan tumbuh suburnya “budaya kematian” mendesak untuk diatasi agar kembali menyuburkan “budaya kehidupan”. Budaya Kehidupan hanya bisa tumbuh bila benih-benihnya berupa nilai-nilai religius-spiritual dan kemanusiaan ditaburkan di hati setiap orang dan di tanah kehidupan. Kehidupan yang ditandai oleh kasih, keadilan, damai, penghargaan martabat manusia dan keutuhan ciptaan hanya bisa terwujud bila ada proses penanaman nilai-nilai religius-spiritual dan kemanusiaan. Penanaman dan penghayatan nilai-nilai tersebut perlu menjadi fokus perhatian dan gerakan nyata dalam setiap keluarga, komunitas agama dan sekolah. Setelah ditanam, benih nilai tersebut perlu terus disirami dan disiangi dari rumput-rumput liar yang mengganggu pertumbuhannya, antara lain formalisme agama. Praktek hidup beragama yang kaku dan formal mendesak untuk diganti dengan penghayatan agama yang otentik. Singkatnya, cara hidup beragama kita mesti dikembalikan pada inti hidup beragama, yakni spiritualitas dan religiositas. Penanaman nilai-nilai religius-spiritual dan kemanusiaan mampu menggeser “budaya kematian” menjadi “budaya kehidupan”. Hasilnya, akan terbentuk pribadi-pribadi, keluarga dan masyarakat yang memiliki kedalaman religius-spiritual dan menghayati budaya kehidupan. Niscaya, masyarakat kita akan terhindar dari bencana kekeringan spiritualitas yang menimbulkan kekerasan, ketidakadilan dan berbagai praktek yang merusak martabat manusia. Semoga tumbuh suburlah budaya kehidupan di tengah masyarakat kita.
Penulis:
Kristiadji, MSC
*) disunting dari artikel Bencana Kekeringan Spiritualitas
gambar: hasil penelusuran google