Kisah Inspiratif

Kelembutan Hati Seorang Anak Pembawa Damai (bagian-2)

Kejutan di awal homili

Saat misa Sabtu sore (Hari Minggu Biasa XII, 24 Juni 2017) di Gereja Paroki St. Yoseph, umat yang hadir tidak terlalu banyak. Beberapa bangku terlihat tidak penuh terisi. Ini bisa dimaklumi karena sebagian umat bepergian ke luar kota untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang merayakan Idul Fitri. Sebagian lainnya memanfaatkan long weekend ini untuk berlibur bersama keluarga.

Di awal homili, ku sapa umat yang hadir dan kuucapkan selamat datang kepada umat dari luar kota yang sedang berkunjung ke rumah kerabat dan menyempatkan diri ikut misa. Kulayangkan pandangan menyapu ke seluruh umat. Sekejap kuterhenyak melihat Dalu bersama Ibunya duduk di bangku bagian tengah kiri. Spontan muncul perasaan senang dan terucap dalam hatiku, “syukur ya Tuhan, Kau pertemukan aku lagi dengan Dalu”. (baca juga KELEMBUTAN HATI SEORANG ANAK PEMBAWA DAMAI [bagian-1]). Langsung terbersit ide untuk mengangkat pengalaman Dalu sebagai pembuka homili. Gagasan homili yang sudah kususun sebelumnya siap kurangkai ulang. Rasaku pengalaman Dalu ini dapat menjadi contoh yang tepat untuk menegaskan secara lebih kuat pesan pokok dari Sabda Tuhan hari ini.

Serentetan pertanyaan begitu cepat muncul di benakku dan siap kulontarkan. Tanpa membuang waktu, segera kupanggil namanya. Kuajukan pertanyaan pembuka tentang identitasnya sebagai perkenalan pada umat. Sayang, suaranya begitu kecil dan kurang terdengar jelas. Aku menengok ke meja altar untuk melihat apakah ada pelantang suara wireless di situ. Ternyata tidak ada. Maka kuputuskan untuk turun dari mimbar dan mendekatinya. Lalu jawabannya kuulang kembali dari mimbar. Tapi masih banyak pertanyaan lain nih. Dugaanku, Dalu ini anak pemberani, pasti mau jika diminta maju ke mimbar agar suaranya terdengar oleh umat.

Dalu si pembawa damai-1.jpg

Dialog dengan Dalu saat homili Misa Sabtu sore di Gereja St. Yoseph Purwokerto (24/06/2017/foto: Agus G.)

Syukurlah dugaanku tidak meleset. Dalu menunjukkan respon positif. Dia bergegas mengenakan sepatunya yang sebelumnya dilepas agar kakinya dapat ditumpangkan di tempat berlutut. Saat menunggu Dalu selesai mengenakan sepatunya, Pak Agus cepat tanggap mengambilkan pelantang suara. Dalu pun beranjak dari tempat duduknya dan melangkah maju tanpa terlihat ragu atau malu. Maka terjadilah dialog singkatku dengan Dalu di depan altar.

Dua peristiwa yang bermakna

“Kemaren Dalu nangis waktu cerita pengalaman di-bully teman. Sekarang Dalu cerita lagi lebih jelasnya dong“, pintaku mengawali dialog dengannya. Dalu pun mulai cerita, “Aku ngga suka lihat temanku berantem. Pengennya sih mau ngedamein mereka. Tapi mereka berdua malah kompak mau ngeroyok aku. Ngajak berantem.” “Berani ngga lawan mereka?”, tanyaku. “Nggak” jawab Dalu polos. Umat pun tertawa. “Kenapa ngga berani? Temanmu badannya lebih gedhe ya? Dalu kan bisa panggil teman lain untuk bantuin?” tanyaku beruntun. Sambil menggeleng Dalu menjawab, “Ngga sih. Aku ngga suka aja berantem”. “Ngga suka berantem atau ngga berani? Karena ngga berani, lalu Dalu cuma bisa nangis ya?” tanyaku menggodanya. “Ngga. Itu sih sama anak yang lain lagi, teman sekelas. Yang ini, anak kelas lain.” Ouw, ternyata ini peristiwa yang berbeda dengan yang diceritakannya kemaren seusai misa Jumat sore. Aku coba bertanya untuk mengonfirmasi, “Berarti sudah dua kali Dalu mencoba damaikan teman yang berantem tapi malah di-bully dan mau dikeroyok ya?” “Iya”, jawabnya singkat. “Ngga kapok kan untuk damaikan teman yang berantem? Dengan mantap Dalu menjawab, “Ngga”. Kuakhiri dialog itu dengan meneguhkannya, “Oke Dalu, terima kasih sudah mau cerita pengalamanmu. Tetap semangat ya.” Kupersilahkan Dalu kembali ke tempat duduknya.

Saat Dalu berjalan kembali ke tempat duduknya, kubercandain dia, “Kalau Dalu di-bully atau mau dikeroyok teman lagi, lapor aja ke polisi. Ibu yang kemaren malam ngobrol dengan Dalu itu polisi lho.” Grrrrr….umat tertawa. “Eh, mungkin Bu Rosa ikut misa sekarang?” tanyaku iseng saja sambil menyapukan pandanganku ke sekeliling umat. Seorang Ibu di barisan tengah sebelah kananku berdiri sambil melambaikan tangannya ke arahku.  Ternyata benar, Bu Rosa hadir dalam misa sore ini. Terkejut yang kedua kalinya nih, pikirku. Sambil berjalan mendekati tempat duduknya aku bertanya, “Nah, mumpung ada ‘saksi mata’ (umat tertawa lagi), mari kita tanyakan langsung saja pada bu Rosa, ‘apa kesan Ibu terhadap pengalaman yang diceritakan Dalu kemaren?” Singkatnya, beliau terkesan dengan sikap Dalu yang berani berkorban, berusaha mendamaikan temannya, meskipun harus menerima resiko di-bully.

Jangan takut bersaksi tentang kebenaran

Niat baik dan tindakan untuk mewujudkannya tidak selalu mendapatkan tanggapan positif. Tak jarang orang menjadi kawatir dan ragu-ragu kemudian mengurungkan niatnya bila tahu resiko yang tidak mengenakkan akan diterimanya. Orang juga bisa lebih memilih diam atau acuh tak acuh saja ketika melihat ketidakberesan, perbuatan yang tidak benar dan melanggar norma daripada kehilangan jabatan, dimusuhi orang, ditinggalkan teman, dan resiko lainnya. Bahkan banyak juga yang menjadi takut dan memilih mencari aman dengan “ikut arus” atau “bersembunyi dalam kerumunan” saja meskipun tahu hal itu tidak benar. Kadang kesetiakawanan yang semu juga membuat orang menjadi permisif dan “menomorsekiankan” kebenaran.

bersama Yesus panggul salibDalu mengajarkan kepada kita, para pengikut Kristus untuk berani mengambil sikap dan bertindak mewujudkan apa yang diyakini sebagai kebaikan atau kebenaran. Hidup rukun dan damai adalah salah satu kebenaran yang diyakini oleh Dalu dan harus diperjuangkan ketika melihat ada konflik, relasi yang tidak harmonis dan tiada damai. Keberaniannya untuk mengambil resiko yang terburuk demi terwujudnya kebenaran adalah suatu keutamaan sebagai seorang murid Kristus. Kerelaannya untuk berkorban adalah pilihan untuk ikut memanggul salib bersama Yesus.

Pelajaran lainnya, Dalu memilih untuk tidak membalas tindakan buruk dengan tindakan buruk lainnya. Dia lebih memilih mengalah dan tidak meladeni sikap dan tindakan buruk itu. Mengalah bukan berarti kalah. Mengalah juga bukan berarti menyerah, atau pasif dan tak berdaya. Orang yang berani mengalah justru menunjukkan hati yang besar dan lapang dada menerima perlakuan yang tidak mengenakkan tanpa membalasnya dengan tindakan yang sama. Mengalah adalah suatu pilihan sadar dan sikap bijaksana menimbang situasi, tidak memaksakan diri namun tetap memegang prinsip kebenaran. Orang yang mengalah dalam arti itu, justru menjadi orang yang menang. Dia menang melawan egoismenya, menang melawan dorongan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, perlakuan buruk dengan perlakuan buruk. Dia juga telah mengalahkan keraguan dan rasa takut menghadapi resiko saat memperjuangkan kebenaran. Itulah pengorbanan untuk suatu kebenaran, kebaikan orang lain atau kepentingan umum.

Dalu telah menyakini sabda Yesus dalam Injil hari itu, “Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui” (Mat 10:26). Kebenaran yang datang dari Allah pasti akan terwujud pada saatnya yang tepat dan tidak dapat ditutupi oleh segala kejahatan atau niat buruk untuk meniadakannya. Dan keberanian kita dalam memperjuangkan kebenaran dilandaskan juga pada iman akan Allah yang pasti akan melindungi kita karena kita jauh lebih berharga dari seekor burung pipit. Burung pipit saja dijagaNya agar tidak satu pun terjatuh di luar kehendak Bapa, apalagi kita, orang-orang yang sangat dikasihiNya.

Membalas dengan doa dan berkat

Pertanyaan selanjutnya, “Apa yang paling tepat kita lakukan ketika menghadapi resiko dalam perjuangan kebenaran?” Atau, “Apa yang dikendaki Tuhan untuk kita lakukan saat niat dan perbuatan baik kita mendapat tanggapan yang menyakitkan?” Tindakan paling tepat dan dikehendaki Tuhan adalah DOA dan BERKAT

Pope Francis-Christian love.jpgDOA, menjadi tindakan kita berkomunikasi dengan Dia yang mengutus kita. Itulah kesempatan untuk mendengarkan dan menegaskan kembali kehendakNya. Juga menjadi saat kita menyerahkan perjuangan kita kepadaNya sebagai persembahan, ungkapan kasih dan tanggapan iman atau penyerahan diri pada kuasaNya. Bila ada kekawatiran, kekecewaan, sakit hati dan amarah, doa menjadi saat kita serahkan semua itu pada Dia yang Maha Mengetahui. Bukan hanya penyerahan diri dan segala yang kita alami, tetapi juga menyerahkan mereka dan semua pergumulan mereka yang “membenci, memusuhi dan mem-bully” kita kepada kasih dan keadilan Allah.

Doa menjadi saat hening, refleksi dan memurnikan kembali motivasi kita hanya untuk mengasihi Dia dan menjalankan kehendakNya. Doa bukan menjadi “pelarian rohani”, pembenaran diri, atau kesempatan berkeluh kesah saja, dan menuntut Allah menuruti kemauan dan gengsi kita saat kita diperlakukan tidak adil. Jika menjadi suatu permohonan, maka dengan rendah hati hanya memohonkan “terjadilah kehendakMu” dan kemampuan atau kekuatan untuk setia menjalankannya. Doa “Bapa Kami”, akhirnya menjadi doa yang menyempurnakan seluruh perjuangan kita. Doa yang benar sesuai dengan kehendak/ajaran Tuhan dan dilakukan dengan benar akan menjadi suatu berkat. Itulah tindakan yang kedua.

BERKAT. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “berkat” berarti:  1) karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia; 2) doa restu dan pengaruh baik (yang mendatangkan selamat dan bahagia) dari orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat); 3) makanan dan sebagainya yang dibawa pulang sehabis kenduri; dan 4) mendatangkan kebaikan; bermanfaat; berkah.

Dalam teologi Kristiani, berkat adalah “gratia”, “gratias” (Latin) atau “grace” (Inggris) = rahmat, karunia Allah. Rahmat atau karunia Allah itu pastilah semua yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia dan semua mahkluk. Memberkati berarti tindakan Tuhan mendatangkan rahmat, kebaikan, kebahagiaan atau keselamatan. Sedangkan orang yang terberkati disebut “benedictus” (dari kata “bene”, “bonum” = baik; “dicere”=berbicara/mengatakan, “dictus” = dikatakan), artinya yang diberkati, yang dikatakan baik, atau orang yang dilimpahi rahmat kebaikan Allah. Menjadi jelas bagi kita, berkat adalah suatu peneguhan atau mengatakan hal yang baik, mengatakan “YA” pada kebaikan yang ada pada sesuatu atau seseorang.

Doa Yesus di salib-1Tuhan memberkati kita berarti meneguhkan apa yang baik (yang sudah ada pada kita, sifat-sifat keilahian yang ditanamkan Tuhan dalam diri kita) dan meneguhkannya atau mengatakan “YA, kamu baik”. Berkat itu diberikanNya melalui banyak ungkapan (kata/kalimat/Sabda), wujud (benda, keadaan, tindakan) dan sarana (alat, orang yang menjadi pembawa/utusan). Hidup yang terberkati adalah hidup yang ditandai dan dilimpahi dengan berbagai ungkapan, wujud dan sarana berkat dari Tuhan.

Bukan hanya Tuhan yang memberkati. Kita pun dipanggil untuk menjadi berkat dan saling memberkati. Kita diutus untuk menjadi ungkapan, wujud dan sarana yang mengungkapkan, mewujudkan dan menghadirkan berkat Tuhan bagi semua orang dan seluruh alam ciptaan ini. Sederhananya, seluruh sikap, kata, perbuatan dan semua yang ada pada kita (bakat, harta, jabatan, waktu, tenaga, dll) mestinya menjadi berkat bagi yang lain. Bahkan saat menghadapi resiko dari perjuangan itu, kita tetap berdoa dan memberi berkat atau memohonkan pengampunan dari Allah yang akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang membenci kita. Itulah balasan kita untuk semua sikap dan perlakuan buruk yang dialamatkan pada kita. Orang yang diberkati berani “merangkul” penderitaan dan menempatkannya dalam kerangka kasih Tuhan, di mana kemuliaanNya akan dinyatakan. Singkatnya, ciri orang yang terberkati adalah menjadi berkat bagi yang lain. 

Jesus vs Satan.jpgBerkat vs Kutuk. Lawan dari berkat adalah kutuk. Kutuk atau kutukan merupakan sumpah serapah, laknat, hal yang mendatangkan kesusahan, penderitaan, musibah, atau keadaan buruk lainnya. Berbeda dengan berkat yang fokus pada apa yang baik dan meneguhkannya, kutuk berfokus pada apa yang buruk dan mengharapkan itu terjadi. Berkat menerima dan meneguhkan kebaikan, sedangkan kutuk menolak kebaikan dan mengharapkan keburukan. Berkat membuat kehadiranku meneguhkan dan membawa kebaikan bagi yang lain. Sedangkan kutuk membuat kehadiranku menjadi ancaman dan membawa ketidaknyamanan bagi yang lain. Orang yang diberkati akan mampu menerima yang lain apapun keadaannya sebagai berkat. Sebaliknya orang yang hatinya dikuasai oleh kutuk, akan mudah menganggap yang lain sebagai ancaman. Orang yang terberkati akan mudah mengapresiasi dan optimis, sedangkan orang yang dipenuhi kutukan, akan mudah pesimis dan cenderung merendahkan yang lain. Jelas, sikap dan tindakan mengutuk atau pun merasa dikutuk/terkutuk bukanlah ciri orang yang diberkati atau dikasihi Allah.

berkat vs kutuk.jpgKita perlu tetap waspada karena diri kita terus-menerus menjadi tempat “pertarungan antara berkat vs kutuk”. Terkadang kita dihadapkan pada keadaan kurang pasti untuk memilih tinggal di dalam berkat atau membiarkan diri terjerat oleh kutuk. Dalam kondisi ini doa dan keheningan untuk merasakan kehadiran Allah sangatlah kita butuhkan agar kita dapat memilih jalan atau cara  hidup yang benar, yakni berada dalam naungan berkat dan kasihNya.

Doa dan berkat yang menyertai perjuangan kebenaran itu, kita lakukan dengan dasar iman, harapan dan kasih. Kita berdoa dan memberkati dilandaskan kepercayaan dan penyerahan diri kita pada Allah yang Mahakuasa dan Adil. Kita berdoa dan memberkati karena ada harapan akan janji dan kesetiaan Allah untuk mendatangkan keselamatan. Kita berdoa dan memberkati karena sudah lebih dulu dikasihi dan diberkati Allah. Kita terdorong untuk membalas kasih dan berkat Allah itu dengan mengasihi dan melayaniNya lewat pengorbanan bagi kebaikan bersama (bonum commune).

Itu semua bisa kita hayati dan wujudkan bila kita membiarkan hati kita “dilembutkan” oleh kasih dan rahmat Allah yang paling sempurna mengalir dari HatiNya. Bila hati kita masih keras dan beku, penuh amarah dan dendam, iri dan benci, egois dan sombong, maka tidak ada kata terlambat untuk datang kepadaNya. Yesus Sahabat sejatiYang sudah merasa diberkati pun dinanti oleh Tuhan untuk menerima lebih banyak berkat yang mengalir tiada habisnya. Berkat Tuhan tetap dibutuhkan karena kita masih bisa terjerat oleh sikap mengutuk dan dikutuk. Tuhan setia menunggu kita, apapun keadaannya. Kita dinantiNya untuk mau membuka diri dan menerima Yesus serta dibentuk dalam proses “pendidikan hati” atau proses pembentukan gaya hidup menurut gaya hidupNya. Gaya hidup seorang pendoa, penebar kasih dan pengampunan, penyalur berkat, peneguh harapan, pelayan yang rendah hati, serta pembawa damai dan keadilan itulah gaya hidup kristiani.

Mari bertanya pada diri kita masing-masing: Siapkah aku memperjuangkan kebenaran yang berlandaskan iman, harapan dan kasih? Sanggupkah aku mendoakan dan memberkati yang lain? Relakah aku menjauhkan diri dari sikap mengutuk dan terbebas dari rasa terkutuk? Bersediakah aku “diproses dan dilembutkan” oleh HatiNya? Semoga Tuhan menyertai dan memampukan kita.

*images: hasil penulusuran google

 

5 replies »

  1. romo, kapan membuat artikel tentang keluarga (komunikasi yang baik di dalam keluarga dan mempertahankan sebuah keluarga, menciptakan rasa damai di dalam keluarga) karena saya punya pandangan semua pelayanan akan baik jika di dalam keluarga tercipta …….)

    maaf jika menyimpang dari artikel di atas

    Disukai oleh 1 orang

  2. Mas Aris ytk, trims atas masukannya.
    1. Sebenarnya tulisan ini juga relevan untuk diterapkan dalam keluarga, komunitas, lingkungan, tempat kerja, pergaulan sehari-hari dan kehidupan di tengah masyarakat.
    2. Benar sekali, keluarga menjadi dapur cinta, pusat kasih dan pelayanan karena keluarga dipersatukan oleh cinta Kristus dan diberkati untuk menjadi saluran kasih serta pelayanan.
    3. Usulan untuk membuat tulisan khusus tentang keluarga akan diperhatikan dan diusahakan. Ditunggu ya….dan mohon doa semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama harapan itu bisa terpenuhi.
    Berkah Dalem.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.