Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 ayat 3). Pengertian keluarga itu menunjukkan betapa penting dan mendasarnya eksistensi serta peran keluarga dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat dan negara berkewajiban melindungi entitas terkecil dalam masyarakat ini. Tak heran, keluarga pasti tak luput dari sorotan jika timbul persoalan sosial. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat –termasuk Gereja– bertanggung jawab terhadap pemuliaan martabat keluarga.
Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK), keluarga disebut Gereja Rumah Tangga (ecclesia domestica). Di sinilah sekolah kehidupan Kristen yang pertama (KGK no.1657) dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (Gaudium et Spes, GS art.52). Maka, jelas bahwa keluarga juga melaksanakan imamat umum yang diterima melalui pembaptisan, baik orangtua maupun anak-anak. Entitas terkecil masyarakat ini menjadi cermin peziarahan Gereja menuju kesucian hidup, dengan berjuang menghadapi semua problematika manusiawi zaman ini. “Tidak ada seorang pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa pun juga, khususnya bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat” (Familiaris Consortio, FC art.85).
Begitu mendasarnya peran keluarga ini, maka para Paus pun tak henti menyerukan panggilan dasar keluarga bagi seluruh Gereja dan tak henti mempertahankan pandangan tradisional Kristen tentang perkawinan. Seruan mereka senantiasa bergaung sebagai motivasi dan dukungan bagi keluarga-keluarga untuk setia berpegang pada panggilan dasarnya, tempat menyemai benih-benih rahmat kebajikan dalam diri setiap anggotanya. Inilah tempat pendidikan doa yang pertama. Doa sehari-hari dalam keluarga adalah kesaksian pertama untuk ingatan Gereja yang hidup, yang dibangkitkan dengan kesabaran oleh Roh Kudus (KGK no.2685).
Semaian benih-benih kebajikan manusiawi dan cinta kasih Kristiani itu nantinya akan tumbuh dan berbuah keharmonisan, persaudaraan, dan harapan dalam masyarakat. Nilai-nilai luhur dalam masyarakat tersebut menjadi buah yang telah disemai di dalam keluarga, seperti saling menghargai, saling memperhatikan yang kekurangan dan kesulitan, saling berbagi suka-duka dalam hidup, saling menerima perbedaan dan memaafkan. Benih iman pun demikian.
Keluarga menjadi tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman, satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan manusia dan cinta kasih Kristiani (KGK no.1666). Maka, orangtua hendaknya–dengan perkataan maupun teladan–dapat menjadi pewarta iman pertama dan mampu memelihara panggilan rohani anak-anaknya (Lumen Gentium, LG art.11).
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, mari kita selalu ingat pesan Paus Fransiskus dalam World Meeting of Families 2015 di Philadelphia, Amerika Serikat. “Keluarga adalah,… pabrik harapan, hidup, dan kebangkitan. Allahlah yang membuka jalan itu. …Dalam keluarga, anak-anak kadang membuat pusing. …dalam keluarga, selalu ada salib. Karena kasih Allah, Sang Putra membuka jalan itu. Meski dalam keluarga selalu ada salib, ada pula kebangkitan.”
sumber: hidupkatolik.com
Kategori:KELUARGA