Kebangkitan badan meneguhkan pengharapan
Rasul Paulus menuliskan kepada jemaat di Korintus, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13). Dengan kata lain, orang yang tidak percaya akan kebangkitan badan, tidak percaya akan Kristus sendiri yang telah bangkit. Maka, iman akan kebangkitan badan berhubungan erat dengan iman akan Kristus yang bangkit dari antara orang mati. St. Thomas dalam Summa Theology memberikan lima alasan mengapa Kristus bangkit, yaitu: (1) untuk menyatakan keadilan Allah; (2) untuk memperkuat iman kita; (3) untuk memperkuat pengharapan; (4) agar kita dapat hidup dengan baik; (5) untuk menuntaskan karya keselamatan Allah. Keterangan lengkap tentang hal ini dapat dibaca di sini – silakan klik.
Kebangkitan badan yang dimaksud di sini adalah badan yang telah terurai dan hancur akibat kematian akan dibangkitkan pada akhir zaman dan kemudian akan bersatu dengan jiwa masing-masing. Dengan demikian, setiap individu akan kembali mempunyai persatuan antara jiwa dan badan, dan kemudian hidup dalam kekekalan. Bagi yang masuk dalam Kerajaan Sorga akan mengalami kebahagiaan dalam persatuan jiwa dan badan yang telah dimuliakan dan bagi yang masuk dalam neraka akan mendapatkan hukuman dalam persatuan jiwa dan badan. Dengan berpegang teguh pada ajaran tentang kebangkitan badan, kita percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan kebahagiaan Sorgawi yang telah dijanjikan oleh Yesus menanti kita di kehidupan mendatang.
Apa gunanya mempercayai ajaran ini?
1. Tidak terpuruk dalam kesedihan akan kematian. Menjadi reaksi psikologis yang wajar bahwa seseorang menangisi kematian dari orang-orang yang dikasihinya. Namun, seseorang yang percaya akan kebangkitan badan, dia tidak akan kehilangan harapan bahwa pada satu saat dia akan dapat berkumpul kembali dengan orang-orang yang dikasihinya. Rasul Paulus menegaskan hal ini kepada jemaat di Tesalonika, “Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1Tes 4:13-14)
2. Mengambil ketakutan akan kematian. Kalau kita tidak percaya akan adanya pengharapan yang lain setelah kematian, maka kita akan terjebak dalam ketakutan akan kematian yang harus kita hadapi. Namun, karena kita percaya akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan, maka kematian tidak terlalu menakutkan bagi umat beriman. Dengan kematian dan kebangkitan-Nya, Kristus telah memusnahkan Iblis yang berkuasa atas maut, sehingga Kristus membebaskan kita dari ketakutan terhadap maut (lih. Ibr 2:14-15)
3. Membantu kita untuk hidup lebih baik. Seseorang yang tidak melihat bahwa apa yang dilakukannya diperhitungkan untuk kekekalan, maka ia tidak mempunyai motivasi yang tinggi untuk hidup lebih baik. Namun, seseorang yang mempercayai kehidupan kekal di masa mendatang akan mempunyai motivasi yang tinggi untuk berbuat baik, tahan menghadapi segala tantangan, penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini. Rasul Paulus menuliskan, “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.” (1Kor 15:19)
4. Membantu kita untuk menjauhi kejahatan. Dengan percaya akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan, kita terdorong untuk menjauhkan diri dari kejahatan, karena tahu bahwa segala kejahatan dapat berakibat penghukuman di kehidupan mendatang. Rasul Yohanes menuliskan, “dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh 5:29)
Realitas Kebangkitan Badan
Mereka yang menentang kebangkitan badan sebelum Kristus adalah kaum Saduki (Mat 22:23; Kis 23:8) dan orang-orang pagan (Kis 17:32), kaum Gnostics dan Manichaeans, di jaman Abad pertengahan, adalah kaum Katharis, dan di zaman modern adalah kaum Materialis dan kaum Rationalis. Namun sebenarnya, kita dapat membuktikan kebangkitan badan baik dengan akal budi – sejauh yang dapat kita terangkan dengan akal budi – maupun dari Wahyu Allah.
Pembuktian dari akal budi
Dalam katekismus Konsili Trente dipaparkan pembuktian dari akal budi. Kebangkitan badan berkaitan dengan konsep jiwa yang kekal, seperti yang terlihat dari argumentasi yang diberikan oleh Yesus ketika berdiskusi dengan kaum Saduki (lih. Mat 22:29-30). Jiwa yang kekal ini – yang menjadi bagian dari kodrat manusia yang mempunyai tubuh – secara kodrati mempunyai kecenderungan untuk bersatu dengan tubuhnya. Jadi, pemisahan antara jiwa dan tubuh seperti yang terjadi dalam kematian, bertentangan dengan kodrat manusia. Apa yang bertentangan dengan kodrat hanya akan bersifat sementara. Jika kodrat jiwa adalah kekal dan jika tubuh hancur dalam kematian, maka adalah layak jika tubuh yang hancur ini kemudian akan dibangkitkan dan bersatu dengan jiwanya yang kekal.
Argumentasi lainnya diberikan oleh St. Krisostomus dalam homilinya kepada umat di Antiokia. Dia mengajarkan bahwa ketika manusia hidup di dunia, jiwa dan badannya saling bekerjasama ketika berbuat kejahatan maupun kebajikan, sehingga sudah selayaknya penghukuman maupun penghargaan diterima oleh jiwa maupun badan. Namun, banyak orang yang sebelum meninggal dunia tidak mengalami penghukuman terhadap kejahatan yang mereka lakukan ataupun tidak mendapatkan penghargaan dari kebajikan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, dalam Pengadilan Terakhir, ketika manusia memperoleh penghargaan maupun penghukuman, jiwa juga akan bersatu dengan tubuh, sehingga yang menerima penghargaan dan penghukuman adalah persatuan jiwa dan tubuh dan bukan hanya jiwa saja. Persatuan ini mensyaratkan kebangkitan badan.
Kebangkitan badan juga merupakan efek kesempurnaan dari penebusan Kristus. Kristus telah menebus dunia, karena dengan kematian-Nya, Dia telah menghancurkan kematian, sehingga ada kehidupan di dalam Kristus. Manusia yang mempunyai kodrat dengan jiwa dan tubuh juga akan dibangkitkan sesuai dengan kodratnya, sehingga ada persatuan kekal antara jiwa dan tubuh. Dan karena Kristus sendiri sebagai kepala Gereja telah bangkit – baik jiwa maupun tubuh-Nya – maka sebagai anggota Gereja, kita semua juga akan mengalami kebangkitan badan untuk bersatu dengan jiwa kita.
Pembuktian dari Kitab Suci
Di dalam Perjanjian Lama, terlihat adanya perkembangan pandangan tentang kebangkitan badan. Nabi Hosea dan Yehezkiel menggunakan simbol kebangkitan untuk menggambarkan pembebasan Israel atas dosa dan pengasingan (Hos 6:3, 13:14; Yeh 37:1-14). Yesaya mengajarkan kebangkitan badan (Yes 16:19), demikian juga dengan Daniel, yang mengajarkan baik mereka yang baik maupun yang jahat akan bangkit setelah kematian; orang- orang yang baik masuk surga, sedangkan yang jahat dihukum (lih. Dan 12:2). Kitab 2 Makabe juga mengajarkan doktrin kebangkitan orang mati (Mak 7:9,11,14,23,29; 12:43, 14:16).
Yesus menolak pandangan kaum Saduki, “Kamu sesat sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah! Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga.” (Mat 22:29-30). Yesus mengajarkan bukan hanya kebangkitan badan bagi orang- orang benar (Luk 14:14) tetapi juga orang- orang jahat, yang akan dimasukkan ke neraka bersama- sama dengan tubuh mereka (Mat 5:29; 10:28; 18:8). “…mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:29). Kepada mereka yang percaya kepada-Nya, dan yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya, Yesus menjanjikan kebangkitan badan pada akhir zaman (Yoh 6:39-; 44,55). Sebab Kristus sendiri adalah “kebangkitan dan hidup” (Yoh 11:25), maka Ia berjanji bahwa orang-orang yang percaya kepada-Nya akan hidup walaupun mereka sudah mati (lih. Yoh 11:26).
Para rasul mengajarkan tentang kebangkitan badan semua orang mati dalam hubungannya dengan kebangkitan Kristus (lih. Kis 5:1; 17:18,32; 24:15,21; 26:23). Rasul Paulus menegur jemaat di Korintus yang menolak kebangkitan badan, dan mengatakan bahwa dasar kebangkitan badan adalah kebangkitan Kristus, “Kristus telah dibangkitkan dari orang mati sebagai yang sulung dari orang- orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena satu orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. Tetapi tiap- tiap orang menurut urutannya: Kristus sebagai buah sulung; sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu kedatangan-Nya…..” (1 Kor 15:20-23). Musuh terakhir yang dibinasakan ialah maut (lih.1 Kor 15:26, 54-55). Maka karena kemenangan Kristus atas maut, kita beroleh kebangkitan badan (lih. Rom 8:11; 2Kor 4:14; Fil 3:21; 1 Tes 4:14,16; Ibr 6:1-20)
Para Bapa Gereja yang diserang oleh banyaknya ajaran sesat, mengajarkan dengan detail tentang kebangkitan badan, seperti yang dilakukan oleh St. Klemens dari Roma, St. Yustinus, Athenagoras, Tertullian, Origen, Methodius, St. Gregorius dari Nissa, St. Agustinus dalam Enchiridion 84-93, De civ. Dei XXII 4-.
Tubuh sebelum dan sesudah kebangkitan
Konsili Lateran ke-4 (1215) mengajarkan: “They will rise with their bodies which they have now.” Terjemahannya: Mereka [semua orang] akan bangkit dengan tubuh yang mereka miliki sekarang.”
Hal ini secara implisit dinyatakan dalam Kitab Suci, yaitu bahwa tubuh ini yang mati dan terdekomposisi, akan bangkit kembali, seperti tertulis dalam 2 Mak 7:11 “…aku berharap akan mendapatkan kembali semuanya [lidah dan tangannya] dari pada-Nya!”, dan dalam 1 Kor 15:53, “Karena yang dapat binasa ini dapat mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati.”
Para Bapa Gereja mengajarkan demikian, “Tubuh ini akan bangkit lagi dan diadili, dan “kita akan menerima penghargaan kita di dalam tubuh ini.” (St. Klemens, 2 Kor 9:1-5) “Kita berharap akan menerima kembali tubuh kita yang mati… dengan percaya bahwa pada Tuhan tidak ada yang mustahil” (St. Yustinus, Apol. 1.18). Dasarnya adalah, karena kebangkitan badan mensyaratkan identitas tubuh sebelum dan sesudah kebangkitan. Hal ini juga diajarkan oleh Methodius, St. Gregorius Nissa, St. Epiphanius (Haer. 64) dan St. Jerome (Adv. Ioannem Hierosolymitanum).
Maka secara umum para Bapa Gereja mengajarkan bahwa tubuh akan bangkit lagi dengan integritas yang lengkap, bebas dari distorsi, dari bentuk yang buruk maupun cacat. St. Thomas Aquinas mengajarkan, “Orang akan bangkit lagi dengan kemungkinan terbesar akan kesempurnaan alami,” sehingga artinya, [tubuh yang bangkit itu] di tahap usia yang dewasa (Summa Theology, Suppl. 81.1). Integritas dari tubuh setelah kebangkitan juga mensyaratkan organ- organ tubuh, dan pembedaan jenis kelamin. Namun demikian fungsi- fungsi vegetatif (makan dan berkembang biak) tidak ada lagi. Sebab dikatakan dalam Mat 22:30, “Mereka akan menjadi seperti malaikat Tuhan di surga.”
Komposisi Tubuh setelah Kebangkitan badan
1. Tubuh orang -orang benar akan diubah seperti tubuh Kristus yang bangkit
St. Paulus mengajarkan, “[Yesus Kristus] akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.” (Fil 3:21). “Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah.” (1 Kor 15:42-44), lihat 1 Kor 15:53.
Berdasarkan ajaran para Rasul, maka para Teolog mengelompokkan empat karunia sehubungan dengan kebangkitan badan orang- orang benar:
a. Tidak dapat menderita (incapability of suffering/ impassibilitas), tidak dapat lagi mengalami sakit ataupun mati. Why 21:4 “Dan Ia [Tuhan] akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau rapat tangis, dan duka cita sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (lihat juga Why 7:16, Luk 20:36: “Sebab mereka tidak dapat mati lagi”. Alasan mendasar impassibilitas ini adalah karena tubuh tunduk/ taat sempurna kepada jiwa. (Summa Theology, Suppl. 82,1)
b. Subtilitas, yaitu, sebuah kodrat yang rohani/ spiritual. Namun demikian, ini tidak untuk diartikan bahwa tubuh diubah menjadi hakekat spiritual ataupun penghalusan tubuh/ matter menjadi tubuh yang tidak bisa diraba (etheral body), lihat Luk 24:39 [disebutkan bahwa Yesus yang bangkit mempunyai tubuh yang dapat diraba, mempunyai daging dan tulang]. Maka model tubuh spiritual ini adalah tubuh kebangkitan Kristus, yang dapat keluar dari kubur yang tertutup rapat dan yang menembus pintu yang terkunci (Yoh 20:19, 26). Alasan dasar tubuh yang rohani ini adalah kesempurnaan dominasi jiwa yang ter-transfigurasi, terhadap tubuh (Summa Theology, Suppl. 83,1).
C. Agilitas, yaitu kemampuan tubuh untuk mentaati jiwa dengan kemudahan yang sempurna dan gerakan yang cepat. Maka ini bertentangan dengan beratnya tubuh duniawi yang dikondisikan oleh hukum gravitasi. Agilitas ini terjadi pada tubuh Kristus yang secara tiba- tiba hadir di tengah para Rasul-Nya dan yang lenyap dari pandangan mereka juga dengan cepat (Yoh 20:19, 26; Luk 24:31). Alasan dasar agilitas adalah kesempurnaan dominasi jiwa yang ter-transfigurasi, yang telah memindahkan tubuh (Summa Theology, Suppl. 84, 1)
d. Klaritas, bebas dari segala bentuk deformasi, dan diisi oleh keindahan dan terang. Yesus mengatakan, “Pada waktu itu orang- orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka.” (Mat 13:43), lih. Ul 12:3. Model transfigurasi ini adalah Transfigurasi Yesus di gunung Tabor (Mat 17:2), dan setelah kebangkitan-Nya (Kis 9:3). Alasan dasar transfigurasi ini adalah keindahan yang melimpah ruah dari jiwa yang ter-transigurasi ke dalam tubuh. Tingkat transfigurasi tubuh, menurut 1 Kor 15:41-, akan bervariasi tergantung dari tingkat keindahan jiwa, yang sebanding dengan ukuran jasa/ perbuatan kasih yang dilakukannya. (Summa Theology, Suppl. 85, 1)
2. Tubuh orang- orang yang jahat akan bangkit di dalam ketidakbinasaan (incorruptibility and immortality), tetapi mereka tidak mengalami transfigurasi
Incorruptibilitas dan immortalitas ini merupakan prasyarat bagi penghukuman abadi bagi tubuh di neraka. (Mat 18:8-). Immortalitas (lih. 1 Kor 15:52-) tidak termasuk perubahan tubuh dan fungsi- fungsi yang berhubungan dengan perubahan tubuh, tetapi pada orang jahat ini, immortalitas tidak berarti bahwa mereka tidak dapat menderita. (Summa Theology, Suppl. 86, 1-3).
Merindukan Kebangkitan Badan
Dalam artikel syahadat “Aku percaya akan kebangkitan badan”, seluruh umat Katolik diajak untuk sekali lagi berfokus pada tujuan akhir, yaitu Sorga. Dengan mengetahui bahwa suatu saat tubuh kita akan dibangkitkan dan bersatu dengan jiwa dan kemudian hidup dalam kekekalan, maka kita akan mengarahkan semua hal di dunia ini untuk mencapai kebahagiaan kekal. Dogma ini dapat membantu kita untuk senantiasa tabah dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, bertekun dalam kasih, dan senantiasa berjuang dalam kekudusan, sehingga pada akhirnya, kita akan menjadi manusia baru di dalam Kristus dan hidup bahagia selamanya di Sorga untuk selamanya. Kematian Kristus membuka pintu perdamaian antara kita dengan Allah dan oleh kurban Kristus kita dapat memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal.
Penulis: Stefanus-Ingrid (katolisitas.org)
Kategori:KATEKESE, SYAHADAT (AKU PERCAYA)